Ngampus: Nyari Ilmu atau Cinta Semu?

Baru beberapa minggu pertama aku memasuki musim pertama perkuliahanku, aku sudah dihadapkan dengan berbagai drama romansa di sekelilingku.

Jujur saja, aku agak kasian (sangat kasian). Karena di saat seharusnya kami menggunakan semester pertama ini untuk memaksimalkan performa belajar, beradaptasi dengan berbagai aspek dari kehidupan kampus, serta membuat rencana untuk puluhan langkah kedepannya, mereka malah sibuk dengan hal remeh temeh yang sama sekali tak penting.

Kedua, aku juga agak kesal (sangat kesal), karena dari pengamatanku, mereka sama sekali tidak berpikir dan mempertimbangkan mengenai perasaan apa yang sebenarnya mereka rasakan. Apakah itu benar-benar sebuah cinta yang tulus? Atau hanya sekedar bunga rasa semu yang akan pudar seiring waktu? Ah, itu mereka saja yang jawab.

Apakah dengan mengatakan itu berarti aku sama sekali tak merasakan ketertarikan pada kehidupan merah merona itu? Oh, bukan begitu. 

Jujur saja, aku sendiri sudah berkali-kali merasakan keinginan yang kuat untuk masuk ke dalam dunia romansa di kampus. Aku sudah berkali-kali tertarik bahkan dengan beberapa orang yang berbeda sekaligus dalam satu waktu selama masa awal perkuliahanku sampai aku sempat resah sekali dengan perasaanku yang bercabang tersebut, karena bagiku itu aneh sekali.

Sampai akhirnya aku berdialog dengan beberapa kawan dan menyimpulkan bahwa perasaan tersebut ya manusiawi. Bisa dimaklumi, selama kita masih bisa mengolahnya dengan baik. Mungkin aku hanya kesepian. 

Ah, siapa sih yang tidak ingin mempunyai tempat untuk bersandar di tengah hiruk-pikuk perkuliahan dan kehidupan? Membayangkannya saja sudah membuatku senyum-senyum sendiri. 

Sayangnya, di hasrat romansa yang menggebu tersebut, logikaku juga masih menyala. Sehingga tiap kali ada keinginan untuk ke arah sono. Aku selalu merenungkan kembali,  “Jikalau aku benar-benar pacaran, aku akan mendapat apa?” Karena jika dipikir-pikir, pacaran hanya akan menimbulkan lebih banyak kerugian daripada manfaat. Habis waktu, habis uang, lelah mental, habis tenaga dan bisa jadi habis nyawa pula (aduh).

Untuk permulaan, mari kita mulai perenungan ini dari satu pertanyaan. 

Apakah Jika Suka/Cinta, Berarti Harus Pacaran?

Cinta (atau perasaan suka) dengan pacaran adalah dua hal yang saling berkaitan, namun merupakan hal yang jelas berbeda. Definisi dari istilah ‘menyukai’ sendiri menurut KBBI adalah:  

suka » me.nyu.ka.i 

  •  suka akan; suka kepada; menggemari
  •  menaruh minat pada
  •  menaruh kasih kepada; mencintai; menyayangi

Dari definisi tersebut, apakah menyukai juga mengandung sifat ‘memiliki’? Tidak, kita bisa memahami bahwa cinta atau suka bisa hanya sebatas mengagumi dari kejauhan tanpa harus memiliki sosok yang ia sukai atau cintai. Bisa dipahami?

Sedangkan definisi dari pacaran itu sendiri adalah: 

pa.car : Teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih yang belum terikat perkawinan; kekasih. 

Pertanyaannya, kenapa sih orang-orang selalu menyatu-paketkan dua hal ini seolah tak terpisahkan? Ah, jika aku suka sama dia, berarti aku harus memiliki dia. 

Menurutku, logika seperti ini yang akhirnya meniadakan proses berpikir mendalam dan introspeksi mengenai apa sebenarnya perasaan yang sedang dialami. Akui saja, perasaan suka ketika awal mula kita tertarik dengan seseorang bukanlah cinta dalam bentuk ketulusan dan penerimaan sepenuhnya kepada sosok yang kita kagumi tersebut. Jika kita mau menyadari, kita lebih sering mengagumi sosoknya dalam bentuk imajinasi indah yang kita buat-buat sendiri dalam kepala kita. Kita bukan mengagumi dan mencintai sosoknya secara utuh dan apa adanya, namun ekspektasi kita sendiri yang seringkali terlalu tinggi dan sempurna. 

Makanya, umumnya, pacaran, pun, akan hanya manis pada awalnya saja. Seiring waktunya berjalan, perlahan akan terungkap, siapa sosok dirinya yang sebenarnya, dan seringkali, jauh dari apa yang kita bayangkan sebelumnya. Ujungnya? Akan bosan, muak, berkonflik, putus dan pada akhirnya mencari gantinya yang lain, kemudian mengulang siklus tersebut.

Pada akhirnya, pacaran hanya menjadi ajang coba-coba dan wadah penasaran bagi para manusia-manusia gabut yang tak punya hal bermakna lain untuk ia fokuskan. 

Eits, nggak usah marah-marah. Aku, kan, hanya beropini. Kalau protes, boleh tulis di kolom komentar. 

Mengapa Aku Nggak Pacaran? 

Mungkin jika aku langsung menjawab, “Oh, karena agama sudah jelas melarangnya.” Apalagi ditambah dalil “Dalam Al-Quran, surah Al-Isra, ayat 32, Allah berfirman yang artinya: ‘Dan janganlah kalian mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.’ ”

Apa respon kalian? Muak? Kesal? Tidak terima?

Ya sama, aku sendiri juga kurang suka jika seluruh persoalan harus langsung dijawab dengan dalil agama (sebagai anak yang tumbuh besar dengan didikan seperti itu). Kesannya seperti langsung diceramahi dan dihakimi tanpa mendengarkan suara kita terlebih dahulu, betul? Maka di sini, aku akan menjawab dengan gaya yang lebih manusiawi, dengan berlogika, dengan mengajak kalian duduk bersama dan berpikir.

Sebenarnya logikanya cukup simpel: ia mengorbankan banyak hal.

Di masa muda yang penuh gelora, jiwa yang menyala, semangat yang menggebu, seluruh tenaga tersebut seharusnya disalurkan pada hal-hal yang merupakan persiapan menuju fase berikutnya dalam kehidupan kita nanti. Ini adalah masa yang sangat tepat untuk bertualang, berbuat kesalahan sebanyak-banyaknya, tersesat sejauh-jauhnya dan belajar untuk mencari sendiri jalan pulangnya nanti. 

Andaikata kita memilih untuk berpacaran. Oh, sebentar, aku akan ralat. Andaikata AKU memilih untuk berpacaran, aku yakin, aku akan kehilangan kebebasan untuk mengepakkan sayapku. Aku yakin fokusku pada akhirnya hanya akan tertuju pada satu anak orang yang entah apa keinginannya. 

Tambah, aku sama sekali tak ada keyakinan bahwa hubunganku akan awet hingga ke jenjang pernikahan. Pacaran, tak lain hanya tempat persinggahan sementara yang pasti kemungkinan besar akan selalu ditutup dengan perpisahan yang menyakitkan, meninggalkan kenangan yang memilukan. Untuk apa menghabiskan waktu, tenaga dan harta, hanya untuk sesuatu yang sudah jelas akan berakhir sia-sia? 

Ah, aku lebih tertarik untuk menaklukkan berbagai atap langit di Indonesia, atau menghabiskan waktuku untuk berdialektika dengan banyak sastrawan dan orang-orang serius.

Tapi, Perasaan Tidak Bisa Bohong… 

Di novelnya yang berjudul “Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas”, Eka kurniawan mengatakan:

“Jatuh cinta seperti penyakit. Ia bisa datang kapan saja, seperti kilat dan gledek, dan bisa tanpa sebab apapun. Bahkan ketika ada alasan untuk tidak jatuh cinta.”

Aku setuju, sangat setuju bahkan. Kita adalah manusia dan kita tak mungkin bisa mengontrol perasaan yang muncul dalam dirik kita. Apalagi cinta. Tapi setidaknya kita masih punya akal sehat dan kesadaran yang bisa kita gunakan untuk mengontrol diri sendiri. 

Seperti yang sudah aku singgung di awal, aku sendiri mengakui bahwa aku sudah beberapa kali baper dan kagum dengan teman lawan jenis yang aku temui selama ini. Tapi aku juga menyadari bahwa perasaan seperti itu PASTI tak akan bertahan lama seiring berjalannya waktu. Dan aku juga tahu bahwa aku tak punya waktu untuk meladeni perasaan semu yang tak penting. Seringkali pada akhirnya aku lupa karena teralihkan dengan kegiatan-kegiatan menarik lain yang lebih menggairahkan dan bermanfaat.

Kesimpulannya, cara menghadapi jatuh cinta dengan bijak adalah dengan tetap berusaha sadar dan menggunakan akal sehat dengan baik. 

Sadar bahwa perasaan ini hanya sementara, sadar bahwa (mungkin) kamu hanya mengagumi satu sisi baik saja dari doi dan belum mengetahui sisi lainnya, sadar bahwa cinta tak harus divalidasi dengan menjalani pacaran atau hts atau istilah-istilah omong kosong lainnya, sadar bahwa ada masa depan yang harus lebih diprioritaskan.

***

Tulisan ini hanya merupakan peringatan dan opini pribadiku belaka, aku tidak menghujat atau menyalahkan siapapun di sini. Jalani saja kehidupan sesuka kalian. Sekiranya tulisan ini memberikan pencerahan padamu, tak usah berterima kasih. 

Sama-sama. 

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *