Mungkin Pada Akhirnya UNY Merupakan Pilihan Terbaik Untukku

Setelah menjalani setengah jalan dari semester pertama di UNY sebagai mahasiswa Sastra Indonesia, aku akhirnya menyadari, mungkin memang kuliah di sini merupakan pilihan terbaik dari Tuhan untukku.

Belum lama, ketika zaman UTBK, aku memilih UGM sebagai pilihan pertamaku. Harapan dan ekspektasiku ketika itu adalah mendapatkan lingkungan belajar yang asri, berteman dengan orang-orang luar biasa dan bertemu dengan dosen-dosen brilian yang akan mengajariku banyak hal mengenai sastra dan kehidupan. Atau singkatnya ya, aku memilih UGM dan berharap diterima di sana karena sesimpel dia UGM. 

Siapa sih yang nggak mau dengan bangga, mengenakan jas almameter dengan warna goni tersebut? Menunjukkan pada dunia bahwa kita berhasil menaklukkan benteng kampus top 3 di Indonesia.

Ternyata Tuhan tidak rela. Ia menarik kerah bajuku dan melemparku ke tengah rimbunnya Fakultas Bahasa Seni dan Budaya UNY. Aku menatap langit dan bertanya mengapa? Tapi Tuhan tak menjawab apa-apa, ia hanya tersenyum dan mengangguk, jalani dulu, kamu akan tahu, mungkin itu katanya. 

Aku menjalani hari-hari pertama di sana dengan enggan. Aku mengamati wajahku di kaca dengan jas almameter biru yag membalut bahuku. Aku berusaha menghibur diriku dan tetap bangga dengan membatin, dulu, Umi juga berkuliah di sini dan menjadi oran yang luar biasa. 

Beberapa bulan lewat begitu saja. Tak terasa, sekarang UTS sudah ada di ambang pintu dan aku akhirnya bisa tersenyum lega. 

Semua harapanku pada UGM ternyata sudah kutemukan di sini, di UNY. Aku bertemu dengan orang-orang luar biasa; teman-teman yang suportif dan pemikir kelas kakap, kakak-kakak tingkat yang memang berperan sebagai kakak, dosen-dosen yang (rata-rata) cukup mengayomi, terutama Pak Dwi Budiyanto. Sesosok dosen yang lebih terasa seperti seorang paman ketika kamu berdialog dengannya. Ia menyingkap rahasia-rahasia sastra, rahasia-rahasia kehidupan. Seringnya, sih, rahasia negara (diam saja tapi). 

***

Ada satu lagi poin syukurku, yaitu memilih sastra indonesia sebagai prodi yang aku tempuh dalam perkuliahan. Jauh-jauh hari sebelum musim UTBK, tepatnya akhir dari kelas 2 SMA, aku sudah menguatkan tekadku untuk masuk ke dalam jurusan psikologi. 

Alasanku memilih prodi tersebut ya sesimpel karena aku memiliki minat mendalam untuk memahami manusia. Aku sadar bahwa semenjak kecil aku memiliki bakat dalam kecerdasan emosional, dimana aku memiliki kepekaan ekstra terhadap orang di sekelilingku. Maka aku ingin mengasah bakatku tersebut lewat pendekatan yang jauh lebih ilmiah dan tertata dengan masuk jurusan psikologi. 

Setelah aku menjalani perkuliahan di sastra, aku baru menyadari bahwa sastra juga sangat paham dan mendalami karakteristik manusia dari berbagai sisi, karena memang objek utama dalam setiap karya sastra adalah manusia dan bebagai aspeknya. 

Dan aku akhirnya sadar bahwa gaya sastra dalam memahami manusia lebih cocok denganku ketimbang ilmu psikologi yang (menurutku) terlalu terpaku pada teori-teori ilmiah dan rumus rumit. Toh, pada akhirnya kami juga tetap mendapatkan mata kuliah psikologi. 

***

Pada akhirnya, aku kembali menatap langit di tengah rimbun pepohonan UNY, seraya menengadahkan tangank; Tuhan, aku marah kepadamu karena engkau memilihkan pilihan terbaik tanpa memberiku kesempatan untuk bersiap. Namun, aku berterima kasih kepada waktu yang telah memberiku jawaban dan penjelasaan setelah rangkaian perenungan yang cukup panjang. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *