Semenjak kecil, aku selalu dipandang kecil, lemah dan sasaran yang empuk untuk dibully. Tentu saja karena wujudku yang tak ada bedanya lagi dengan kurcaci, saking mungil dan kurusnya. Selain dari segi fisik, aku juga lemah dari sisi mental. Dari yang aku tahu, aku punya sisi melankolis dari diriku yang memang condong gampang emosional dan sensitif. Cengeng singkatnya.
Dari semenjak TK aku sudah tak asing lagi dengan yang namanya pembullyan. Aku tak pernah tahu untuk alasan apa aku dibully. Pokoknya, di sekolah, aku adalah satu-satunya sasaran yang selalu ditindas dan direndahkan. Tak hanya itu. Bahkan ustadzah dan para pengajar di situ sama sekali tak ada yang membantu dan melerai, karena ternyata mereka juga membenci ibuku, yang aku juga tak diberi tahu alasannya apa. Yang aku pahami, ini terkait dengan iri dan dengki.
Dari aku TK hingga aku SD aku selalu diperlakukan rendah dan selalu dibedakan. Tentu dengan banyak alasan, termasuk yang aku sudah sebutkan. Cuma, yang paling kerasa, alasan terkuat dari aku dipojokkan mungkin karena saat SD aku menjalani program homeschooling, alias sekolah di rumah.
Dari situ, tentu saja besar sekali pengaruhnya terhadap karakter aku, cara aku berpikir serta cara bergaul. Apalagi pada dasarnya aku memang punya bakat yang buruk sekali berinteraksi dengan orang lain. Pokoknya aku komplit dan memang wajar dipandang sebelah mata pada saat itu.
Lalu, berarti aku nggak punya teman? Punya, tapi ya begitu. Itupun aku harus seolah mengemis untuk mendapat perhatian mereka dan bisa setidaknya main di sebelah mereka. Aku pun terima saja mereka ejek aku dengan berbagai kosa kata indah mereka, asal aku bisa tetap m-ain. Padahal kalau aku pikir sekarang, saat itu aku sama sekali tak dianggap.
Untung saja aku masih bisa berteman baik dengan dua kawan yang baik, Anas dan Hudzaifah. Mereka adalah dua orang yang masih memperlakukan aku secara baik dan wajar saat itu. Selain mereka berdua? Kurasa nggak ada.
Aku masih saja harus berteman dengan cara mengemis sampai aku kelas 6 SD. Sampai aku akhirnya mulai ditinggal karena kawan-kawanku sudah mulai duluan masuk ke pondok, sedangkan aku masih harus menunggu satu tahun lagi. Semua temanku rata-rata memang lebih tua daripada diriku setahun.
Sampai aku masuk kelas satu SMP, aku masuk pondok pesantren. Dan aku baru benar-benar menyicipi pertama kali bagaimana rasanya berteman dengan baik. Karena mereka semua merupakan teman yang baru kukenal. Jujur, hanya sekedar bisa ngomong biasa sama temen pas itu bisa ngebuat aku seneng bukan main.
Karena selama ini, aku harus takut-takut ngomong sama semua ‘teman’ yang aku kenal di kampung. Meleset dikit di mata mereka, maka mampuslah aku bakal habis diejek.
Hanya dengan aku bisa ngobrol, bercanda, kemana-mana bareng, belajar bareng, semuanya terasa sangat spesial kala itu. Pertama kali aku merasakan bagaimana nikmatnya berteman.
Lebay? Nggak juga. Bayangkan saja, kau homeschooling semenjak kecil hingga kelas 6 SD, tak ada yang menganggap kau kawan, selalu dipandang bawah, tubuh kecil kurus, orangtua pun tak berbuat apa-apa. Kau pasti akan merasa bahwa dianggap saja oleh orang lain sudah sangat berharga.
Waktu berlalu. Aku membangun kepercayaan yang sangat besar di pondok pesantren pertamaku. Banyak faktor penyebab yang membuat self esteem-ku berkembang pesat. Apalagi dengan banyaknya kepercayaan yang pondok berikan kepadaku. Aku dijadikan ketua di semua bagian kesantrian. Seluruh santri khusus yang ada di situ aku yang memimpin.
Selain itu, dari tubuhku yang dahulu merupakan pusat insecureku, aku memutuskan untuk mengambil langkah. Selama 3 tahun aku belajar di pondok itu, selama itu juga aku berlatih membentuk otot kurusku. Tentu saja hasil akan terlihat setelah waktu berlalu.
Di akhir aku mondok di sana, aku setidaknya sudah upgrade 10 level dibandingkan dengan versi diriku yang masih kecil itu. Dengan kepercayaan diri yang sudah berkembang, aku berusaha untuk melangkah maju. Meskipun kata orang, trauma itu akan selalu ada dan selalu menyertai.
Ini hanya tinggal bagaimana kita menyikapinya. Entah kita melawan dengan berani, atau pasrah di dalam trauma itu. Membiarkan dirinya dimakan sedikit demi sedikit.
Continue to part 2.