Bagian 1; Seekor Jam Branded
Aku punya cerita menarik.
Kejadian ini bermula dari ketika aku masih mondok di Hamalatul Quran. Ketika itu, aku berada dalam satu halaqoh yang sama dengan seorang temen, yang bisa dibilang dia termasuk anak-anak dengan kelas ekonomi di atas rata-rata, dan salah satu barang yang dia punya dan menarik adalah jam tangannya yang branded dan mahal tentunya.
Kami teman-teman sehalaqohnya biasa iseng minjem jam tangannya, karena yang punya sendiri sering ngelepas jam tangannya, entah nggak nyaman atau apa. Dan aku, adalah salah satu dari orang yang suka minjem jam tangannya juga. Apalagi jam tangan analognya modelnya memang aku naksir banget. Mereknya Alexandre Christie.
Suatu saat, pas aku halaqoh shubuh, dan saat itu langit udah mulai biru terang, hampir jam 6 dan tandanya bentar lagi udah selesai. Aku lagi megang jam tangannya si dia ini, ketika aku hampir ngembalikan jamnya, dia bilang, “Bawa aja dulu.”
Oh, betapa senangnya aku ketika dia bilang gitu, aku bawalah jam itu, tapi aku nggak pake, aku cuma kantongin aja (Sebelumnya aku dah sering make). Aku memang lebih suka ngeliatin aja kalo masalah barang orang lain. Pengen. Ya wajar lah ya.
Pada akhirnya, aku tinggal itu jam di dalem lemariku sebelum aku pergi ke kelas dan sebagainya. Nggak ada hal menarik selama siang hari, sampe pas sore, pas aku lagi beresin lemari aku sebelum keluar olahraga, jam itu dah menghilang dari lemariku.
Awalnya aku kaget, tapi ketika aku inget-inget lagi, ketika aku dateng emang lemarinya dah kebuka karena emang engselnya longgar. Baiklah, aku positif thinking aja kalo ada santri lain yang minjem juga. Akhirnya aku biarkan aja.
Berlalu lah beberapa hari, aku udah lupa sama jamnya sampe yang punya dateng ke aku, nanyain keberadaan jamnya. Aku ya bilang aja kalo mungkin jamnya diambil sama yang lain, kusebut beberapa kemungkinan santri yang memang sebelumnya juga sering minjem jamnya. Dia berlalu.
Sampailah kami di di detik-detik sebelum perpulangan, liburan setahun sekali. Si Yang Punya nanya lagi jamnya, dan aku jawab lagi dengan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Akhirnya dia berlalu lagi.
Lewatlah beberapa masa. Setiap dia nanya lagi, aku jawab lagi lah dengan jawaban yang sama lagi dan dia juga berlalu lagi. Aku mulai cemas, keknya ada yang salah. Firasatku dah nggak enak. Karena posisiku saat itu lah yang jelas-jelas terakhir megang barangnya dia.
Nah, di lemari aku itu ada kardus, isinya biasanya stok makanan dan barang-barang penting yang biasanya paket dikirim orangtua aku tiap bulan sekali. Dan ada satu toples Tupperware, warna biru, dia itu isinya barang-barang pritilan atau yang kecil-kecil dan biasanya nggak penting, dan aku jarang buka juga. Pas ada momen aku buka lagi, Jreengg, suprisee.
Jam bermerk Alexandre Christie dengan harga yang nggak murah itu ternyata udah teronggok dalam toples itu bersama barang kecil yang lain. Dan parahnya, dia dalam keadaan RUSAK dan aku shock dan kaget bener-bener kaget. Shick shack shock. Siapa pelaku yang berani tega melakukan itu semua? Mboh, aku nggak bisa nuduh siapa-siapa.
Yang ada di otakku saat itu cuma ada satu memori, salah satu temenku sempet tak liat megang-megang jamnya depan lemariku, tapi waktu itu aku cuma liat sekilas. Tapi aku nggak bisa nuduh dia, karena nggak jelas apakah bener dia yang ngerusak? Kalaupun aku tanya ke dia, buat niat tabayyun, terus jawabannya ternyata bukan dia, malah akunya yang ketauan dan seolah aku yang ngerusak.
Intinya pas itu, aku bener-bener kepepet, dan nggak tau mau ngapain. Akhirnya? Aku taruh lagi dah tu jam di toplesnya seperti semula, tak masukin lagi ke dalam kardus. Dan ku berusaha lupakan.
Lewatlah lagi beberapa waktu. Pada waktu itu kami udah sampe di masa deket sama kenaikan kelas. Mau naik kelas 2 MA. Aku qodarullah sakit cacar, padahal aku baru dua hari di Mahad setelah libur panjang. Sehari berusaha bertahan, aku keknya nggak mampu ngelewatin ini di mahad, akhirnya aku minta tolong salah satu temen aku, Naufal namanya, dia orang baik banget, semoga Allah jaga dia. Aku minta tolong buat ngirimi pesan ke musyrif halaqohku kalo aku sakit dan minta tolong ke orangtuaku buat di jemput.
Aku dijemput, balik lagi ke rumah. Hampir sebulanan aku mendekam di rumah buat ngadepin cacar. Yang alhamdulillah bisa sembuh cepet.
Di minggu ketiga di rumah, aku dapet notif message dari temenku si Pemilik Jam itu. Apa yang dia tanya? Jamnya. Aku jawab seperti biasa aja, walaupun firasatku dah nggak enak banget.
Terus tiba-tiba dia ngirim foto sekali lihat. Anda semua pasti sudah tahu kalo itu adalah foto jamnya yang rusak.
Busted. I’ve got caught.
Kok dia bisa tahu? Aku yakin ada yang sebenernya tahu dan ngelapor ke dia. Ya posisi aku serba salah di situ. Mau ngelak nggak bisa, karena terakhir megang jam aku, dan yang ngerusak nggak tau siapa. Setelah debat beberapa saat, pada akhirnya aku tetep dia tuntut buat ganti.
Damn.
Aku cek harganya, damn. 800.000-an. Hanya untuk jam dengan model simpel itu. ‘Hanya.’ Tapi ya begitulah. Aku mau nggak mau harus ganti. Gimana caranya? Ya nabung. Rasanya ketika aku kena tuntutan kayak gitu, aku sebagai anak dengan ekonomi biasa aja dan sangat mikir-mikir kalo masalah duit, disuruh ganti untuk sebuah jam dengan harga semahal itu? Gila.
Apalagi saat itu aku belum punya sumber penghasilan. Ya karena aku masih santri. Masih cuma bocah SMA biasah. Duit semuanya dari ortu. Ya gimana nggak mau nangis. Kalo aku langsung lapor ke Ortu? Manja sekali, dan aku yang ntar malah habis dan mampus, karena nanti digantinya pake duit ortu, sedangkan mereka pengeluaran buat kebutuhan aku sehari-hari aja udah selalu dibahas terus, diungkit terus. Terus mereka aku minta gantiin sebuah barang semahal itu untuk anak orang lain yang padahal KAYA?
Ya aku harus ngadepin sendiri. Solusi semuanya harus aku pikirin sendiri. Ngumpulin uangnya ya harus sendiri.
Bagian 2; Plot Twist Terbesar
Setelah terkena cacar dan sembuh, akhirnya aku balik lagi ke pondok. Tentunya dengan perasaan yang campur aduk nggak karuan. Si Pemilik Jam ternyata masih belum dateng ke pondok, dia memang suka nelat kalo balpon. Aku masih bisa agak tenang.
Di hari kedua aku di pondok, hari Sabtu tepatnya, malam Minggu. Kami semua para santri lagi berkumpul di halaman kosong depan asrama, duduk anteng depan sebuah layar proyektor yang masih biru, ada tulisan HDMI yang pindah-pindah. Ya, kami mau nonton film. Itu adalah acara seminggu sekali bagi kami para santri untuk refreshing. Hiburan satu-satunya.
Aku juga udah dalam posisi pewe, duduk enak di tengah kerumunan santri, menunggu film diputar. Baru opening, ada kawanku yang manggil dari jauh. “Yad, dipanggil ustadz Daffa.”
Yang ada di pikiranku ketika itu adalah ‘seblak pesananku’, karena aku juga lagi mesen seblak.
Ternyata bukan. Pas aku dah sampe di hadapan ustadz yang disebut tadi, dia ngeliat aku, natap sebentar. Matanya sipit sekali. “Kenapa, Tadz?” Dia cuma nyodorin hapenya, “Ni orangtuamu mau nelpon.” Oh, firasatku ngga enak. Apa ini?
Aku tempelkan hape di telingaku, “Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam, Ziyad, Abi mau ngomong serius sama Ziyad, coba cari tempat jauh dulu, jangan sampe ada yang denger atau nguping. Pokoknya jauh dari orang-orang.” Opening seperti itu dari bapakku, adalah opening paling mengerikan dan bencana bagi aku. Ada satu hal yang nggak beres.
Lanjut, bapakku membuka percakapan pake sholawat dan salam ke Nabi, plus beberapa doa yang biasa dimulai para khotib sebelum khutbah. Ini tanda buruk ke dua. Pokoknya aku langsung keringet dingin. Ini bukan telpon biasa.
Dan singkatnya, pada akhirnya setelah pembicaraan panjang, ternyata aku mau dikeluarkan dari Mahad. Untuk cerita aku dikeluarkan dari Mahad beserta unek-uneknya, aku akan ceritakan di artikel lain insya Allah. Intinya aku mau orangtuaku keluarkan dari Mahad.
Luar biasa, pikiranku semenjak hari itu dan berhari-hari kemudian adalah tentang pengeluaran diriku dari Mahad, aku juga jadi sibuk, karena ngurus dokumen dan berbagai prosedur lainnya. Menunggu sampai hampir seminggu, akhirnya aku lepas dari mahad secara resmi.
Tapi masalahku dengan jam keramat itu belum selesai.
Bagian 3; Ganjalan Hingga Setahun
Berbagai perubahan besar terjadi. Ibaratnya, aku sedang berada di satu haluan dan aku seolah sudah bisa membayangkan apa yang akan aku hadapi ke depannya, aku dah siap dengan semuanya, seluruh bekal yang kubutuhkan sudah kurencanakan. Tapi Tuhan berkata lain melalui pikiran orangtuaku, haluanku berubah.
Aku memulai perjalananku ‘kuliah’ di salah satu fakultas swasta di Yogyakarta, UMY. Tepatnya di Ma’had Ali bin Abi Thalib, jurusan Bahasa Arab. Aku sudah berusaha lupa dengan semua yang aku tinggal di pondokku sebelumnya. Tapi masih ada ganjalan besar di benakku, ya jam itu.
Dan aku bener-bener nggak tau harus ngapain selama setahun itu, karena mikir gimana caranya dapet duit. Uang saku, oh, aku dapet alhamdulillah, orangtua sejahat apa yang sebenernya mampu tapi nggak ngasih anaknya uang saku?
Aku dapet, tapi saat itu aku dapet uang sebulan ‘hanya’ 150.000. Aku bilang hanya di sini bukan karena meremehkan dan nggak bersyukur, bukan. Itu sebenarnya sebuah angka yang sangat cukup sekali buat aku yang masih tinggal sama orangtua, istilahnya buat jajan dan cukup. Cuma pengeluaranku banyak, itu masalahnya.
Mau nabung buat ganti jam semahal itu susah. Setiap aku nyoba nabung, ternyata harus keluar buat keperluan tertentu. Dan aku bingung.
Ditambah setiap masuk liburan anak-anak pondok, aku frustasi lagi. Karena tiap momen itu, aku ditagih sama si Pemilik jam itu. Atau setiap momen dia izin atau pulang, pasti nanya masalah jamnya, kapan diganti? Ya Allah, bener-bener bingung. Pasti basa-basinya dia gini.
“Assalamualaikum.. Yad, apa kabar?” Dia chat. Aku jawab,
“Baik, alhamdulillah.. Gimana kabarmu?”
“Baik.. Gimana jamku, dah bisa kau ganti?”
DUARR.. Itulah bagian nyeseknya, dan itu terjadi berkali-kali. Aku nggak tau mau ngapain. Pasrah, sambil doa sama nyari kemungkinan yang aku bisa dapet duit tambahan dari situ. Tapi nggak ada dan nggak bisa.
Selama setahun itu aku nggak bisa ngapa-ngapain udah. Cuma bisa ngulur-ngulur setiap dia nagih. Dan aku juga nggak akan mau buka ini ke orangtuaku. Seperti yang sudah diketahui, aku bisa mampus. Aku nggak mau sampe orangtuaku harus ngeluarin duit mereka sampe hampir sejuta cuma buat ganti jamnya anak yang udah jelas kaya atau lebih mampu.
Apalagi orangtuaku dari dulu sampe sekarang bener-bener paling benci berinteraksi sama orang kaya. Nggak pernah akur.
Bagian 4; Dapet Kerjaan!
Suatu malam, aku sama orangtua aku lagi ngobrol berbagai masalah, salah satunya ekonomi keluarga kami. Terus Umiku entah dapet hidayah dari mana, dapet ide. “Gimana kalo Ziyad ngajar online juga? Bisa dapet penghasilan dan tabungan dari situ?”
Oh, ide bagus sekali! Walaupun aku nggak langsung mengiyakan dan mikir dulu. Tapi hanya itulah bidang yang aku bisa dan kuasai. Terutama aku juga alhamdulillah sangat percaya diri kalo masalah tajwid dan qiroah. Inget ya, masalah tajwid aja, bukan kekuatan hafalannya.
Mikir mikir mikir, ujungnya, aku setuju. Singkat cerita, aku memulai karirku di dalam mengajar ini. Mengajar online anak-anak. Banyak sekali poin menarik dan berharga dari momen mulai mengajar ini, yang insya Allah aku bahas di artikel lain.
Poin yang aku paling syukuri di sini adalah akhirnya aku punya tabungan sendiri! Lalu apa? Akhirnya, aku tinggal nunggu momen aja buat ganti itu benda! Nggak bakal bisa ku gambarkan betapa senang dan bersyukurnya aku. Umiku sangat berjasa sekali untuk masalah ini karena beliau yang memang pencetus dari ide aku mengajar.
Beberapa bulan mengajar, tabunganku yang sudah terkumpul kurasa sudah cukup dan aku memutuskan untuk membuka masalah ini ke Umi, setelah aku menyiapkan mentalku dan banyak doa. Karena ini masalah duit. Walaupun ini duit aku sendiri tapi tetep aja, ini bukan hal yang remeh ya ges buat orangtuaku.
Buat cerita dan ngaku masalah ini aja aku harus nunggu momen dulu. Pas aku buka masalahnya, aku sengaja ngambil waktu pas pagi, dan beruntung pas itu bapakku lagi istirahat, tidur, jadi aku rasa aku bisa ngomong ini dengan baik ke Umiku. Karena andaikan bapakku ada di situ ketika aku cerita, yang ada aku mampus kena omelannya yang luar biasa panjang itu dan berulang-ulang. Nanti ujung-ujungnya Umiku malah makin kacau juga emosinya dan nggak fokus buat nyelesaikan masalahnya.
Apa respon pertama umiku ketika pertama denger pengakuanku? Pertama, kaget. Kedua, sedih. Ketiga, emosi. Keempat, panas. Tapi umiku adalah orang yang lebih bisa jernih mencerna dulu situasinya dan nggak langsung meledak. Jadi ketika aku cerita, umiku langsung tanya detail dulu masalahnya dan nggak langsung menyalahkan aku, walaupun memang aku yang salah dan teledor.
Ketika umiku tahu siapa sosok anak pemilik dari jam itu, itulah yang buat umi paling panas. Karena ya mereka orang kaya. Aku kaget ketika Umi langsung membuka kontak dari Ibu temenku itu, woaish, puanik. Itu step paling nggak kusangka dari Umi.
Ini sesi paling panas dan campur aduk sih, karena pas Umi chat dan cerita masalahnya, Ibu dari temenku ini ternyata juga langsung panas. Bukan karena marah ke Umi atau aku, tapi ke anaknya. Karena ternyata, problem barangnya hilang ini nggak cuma sekali aja, kalo nggak salah dah 6 kali lebih barangnya hilang dan hampir semuanya jam dan mahal semua. Branded.
Tapi Ibunya temenku ini melampiaskan semuanya ke Umi dan cerita masalah anaknya itu. Kebetulan kasus barangnya hilang ini terulang gak lama sebelumnya. Jam juga, tapi mereknya beda. Dan itu mungkin hal yang paling mengganjal bagi dia. Sehingga jam terbarunya itulah yang dia kira aku hilangkan. Padahal bukan.
Debat antara Umiku dan Ibu temenku itu panas. Apalagi si Ibunya itu sudah jelas sekali dari gayanya bicara di kolom chat kalo dia itu sombong dan arogan lah. “Orang kaya banget” kata Umi. Jadi seolah dia mandang keluarga kami remeh dan nggak mampu.
Debat berakhir pas Ibunya temenku itu memutuskan ingin menelpon anaknya dulu, nanya masalahnya. Jeda tuh.
Umiku chat lagi besoknya sambil menegaskan poin penting yang umiku lupa bahas kemarin. Umiku memperjelas kalo aku dah keluar dan dah nggak di pondok lagi semenjak setahun yang lalu kurang lebih, jadi kasusnya yang terbaru itu nggak ada kaitannya sama aku.
Pas momen ini, Ibu temenku keliatan lebih tenang di chatnya. Dia akhirnya bisa melihat semuanya dengan jelas dan paham. Katanya dia juga sudah telpon anaknya itu dan bilang kalo dia memutuskan untuk diridhoi aja untuk barangnya yang rusak di tanganku.
MASALAH SELESAI.
Tahu apa yang bikin aku kaget, lega banget sekaligus bersyukur?
NGGAK KELUAR UANG SEDIKIT PUN!
Owh my Gawd. Serius dah, aku banyak banget dapet faedah dari masalah yang satu ini dan pasti ini bakal aku inget sampe aku dewasa nanti. Salah satunya adalah; jangan pernah nyentuh barang mahal yang emang bukan punya kita. Entah karena iseng, minjem, atau mungkin dititipin sama pemiliknya pun, jangan pernah mau. Karena kita nggak tau kalo tiba-tiba rusak atau hilang, dan kita ternyata disuruh tanggung jawab? Dan akhirnya kehitung utang dan jadi beban buat kita.
Kedua; jujur sama orangtua itu nomer satu. Salah satu poin yang aku percaya bikin aku selamat dan berakhir mulus adalah karena aku jujur ke Umi aku, dan Allah kasih solusi yang baik lewat aku jujur itu ke Umi. Mau bagaimanapun, jujur itu yang terbaik.
Ketiga; kalo kita dapet masalah, apapun itu, hadapi dengan berani. Kuatkan mental, karena kekuatan seseorang itu bisa diliat dari gimana dia merespon terhadap sebuah masalah, apalagi kalo masalah yang berkaitan dengan orang lain. Terutama masalah mengendalikan emosi dan berpikir jernih.
Alhamdulillah.