Salah satu poin menyedihkan dari seluruh anak pondok yang pernah aku temui adalah mereka semua terjebak di sebuah lingkaran setan dalam pikiran mereka. Seperti yang kita ketahui, sistem dari hampir seluruh pondok di Indonesia adalah menetap di pondok selama 6 bulan tanpa pulang dan itupun belum tentu bisa langsung pulang pada waktunya jika mereka belum memenuhi target yang diberikan pondok.
Maka waktu mereka untuk melihat dunia luar sangat sedikit sekali. Selama 6 bulan mereka berada di dalam pondok tanpa diberi kesempatan untuk melihat dunia luar melalui fasilitas elektronik, entah komputer atau handphone. Apa jadinya? Krisis informasi.
Aku akan beberkan lingkaran setan yang ada di pondok pesantren, atau mungkin jika Lingkaran Setan kurang enak kedengerannya, kita sebut ‘Jebakan Pola Pikir’ aja lah ya:
Seluruh santri pondok akan menetap di pondok selama 6 bulan tanpa mendapat sama sekali fasilitas elektronik untuk mendapatkan informasi dari luar. Kemudian mereka akan menghafal alquran di situ dan belajar berbagai mata pelajaran yang 85 persen merupakan pelajaran agama. Visi-misi untuk masa depan para santri yang disampaikan oleh para guru di sana juga selalu mengarah kepada agama dan agama, sehingga terbentuklah dalam otak mereka berbagai pola pikir sempit ini:
- Kalo mau kuliah, harus ke UIM atau intinya incer Timur Tengah atau Mesir.
- Nanti ngambil jurusan yang pastinya berkaitan dengan agama juga. Entah ilmu syariah, entah ilmu alquran atau semacamnya. Intinya agama.
- Kalaupun aku ngambil jurusan selain agama, aku harus tau kalo jurusan itu bisa dipake buat dakwah nantinya.
- Ketika aku pulang ke Indonesia, aku harus bergabung bersama para pendakwah. Jadi ustadz.
Padahal sebenernya hidup kita nggak sesempit itu dan masih banyak kesempatan emas lain yang bisa diambil oleh mereka.
Nggak cuma itu, ada juga beberapa santri yang mungkin sudah terbuka dikit pikirannya dan berpikir bahwa kedepannya dia nggak akan selalu berkecimpung di bidang agama, jadi dia tau akan ngambil jurusan lain jika andaikata dia lanjut kuliah.
Semenjak aku keluar dari pondok pesantren ketika aku kelas 1 SMA dan mulai dirombak ulang kembali oleh kedua orangtuaku, aku bisa merasakan berbagai perbedaan yang sangat signifikan (dalam masalah pola pikir) ketika aku bertemu kembali dengan beberapa temanku yang masih mondok.
Contoh paling umum. Aku pernah ketemuan lagi sama salah satu temenku, waktu itu lagi liburan semester semua anak pondok. Kami ketemu dan ngobrol di salah satu kafe. Ngobrol lah kami berdua, semakin lama, obrolan makin dalem dan berkaitan sama rencana masa depan. Terutama si temenku ini.
Dia emang aku kenal orang yang suka gambar, nyeni. Terutama dia suka sekali mendesain kaos. Walaupun sejujurnya desainnya nggak sebagus itu dan aku nggak bisa muji juga (karena aku juga ada bakat di desain alhamdulillah dan aku lebih bagus dari dia). Intinya dia cukup kreatif.
Ketika kita bicara masalah rencana masa depannya, aku tanya apa planning dia kedepan. Lalu apa coba planningnya dia? Simpel, dia pengen kuliah di jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual). Kemudian dia akan jualan kaos sesuai dengan mimpinya. Ketika aku mendengar semua curhatannya itu, aku nggak bisa masang ekspresi di mukaku. Zonk. Sambil tarik nafas panjang.
Flashback ketika aku pertama kali pulang ke rumah setelah undur diri dari pondok, aku juga berpikir seperti itu. Kuliah di DKV, terus kerja di bidang desain dan kaos. Jualan. Ketika aku mengutarakan niatku seperti itu kepada orangtuaku, aku malah habis kena ceramah. Ternyata banyak sekali informasi yang belum aku ketahui dan ternyata dunia yang aku impikan itu nggak semanis yang aku bayangkan.
Contohnya, kalaupun aku kuliah di jurusan DKV, itu adalah jurusan yang nggak bakal terpakai banyak di dunia nyata nantinya dan malah bisa dibilang nggak berguna. Dan itu adalah jurusan dengan tingkat gengsi paling rendah. Ada perkataan, kalo misalkan kita mau masuk DKV dan nggak keterima, itu berarti kita udah kebangetan tololnya.
Kedua, bisnis kaos adalah bisnis yang susah dan butuh modal besar dan nggak sesimpel itu. Mulai dari cari pasarnya, bagaimana kita harus tetap selalu merilis desain baru dari kaos kita karena mengikuti perkembangan zaman, bagaimana nanti kita nyari penjahit, sablon, macem-macem lainnya. Dan itu sebenarnya bukan pekerjaaan yang kita harapkan. Yang tadinya hanya sekedar hobi, malah menjadi beban yang memaksa kita mengerjakannya. Sedangkan kita butuh pekerjaan yang fleksibel dan nggak memperbudak kita istilah gampangnnya.
Ketika kawanku curhat tentang niatnya yang seperti itu, langsung aku muntahkan seluruh materi ceramah yang orangtuaku siram ke aku. Aku omeli dia seperti ketika orangtuaku mengomeliku. Jangan! Jangan! Jangan! Gini lho! Gini lho!
Aku berusaha buka pola pikir dia, kalo jalan hidup yang akan kita hadapi nggak akan selalu seperti yang ada di bayangan kita. Karena alur hidup itu abstrak dan penuh teka-teki. Makanya kita juga harus berpikir abstrak dan terbuka. Jangan hanya memikirkan satu kemungkinan, pikirkan banyak kemungkinan sekaligus. Jangan hanya punya satu rencana, pikirkan banyak rencana. Karena alur hidup ini kan penuh sama sebab akibat, dan kadang kita menemui berbagai sebab-sebab nggak terduga yang akhirnya menyebabkan akibat tak terduga juga.
Makanya, benarlah perkataan, “Bermimpilah sejauh mungkin, setinggi mungkin.” Karena itu yang akan membuat kita lebih ambisius dan fleksibel. Jangan hanya bermimpi satu, bermimpilah banyak-banyak.
Ketika kita nyiapin planning buat diri kita, lihat potensi diri kita yang terjauh. Kemudian siapkan rencana untuk kedepannya sesuai dengan kaedah sebab akibat yang ada pada diri kita.
Oh, aku mau kuliah ke kampus A, masuk jurusan B. Itu Akibatnya. Apa sebab yang bisa menghasilkan akibat tersebut? Belajar, doa dan lainnya. Jangan cuma satu planning, siapkan banyak planning seperti itu dengan beragam kemungkinan. Sama satu lagi, banyak doa. Karena nggak mungkin kita sok-sokan berusaha sendiri tanpa ada doa sama sekali.
Kembali lagi ke awal, intinya, untuk semua temenku dari pondok pesantren manapun, tolong ketika ada jadwal pulang ke rumah, libur, jangan cuma dipake healing aja. Coba cari informasi-informasi mendukung yang dengan itu kamu bisa mengetahui mimpi kamu sebenarnya, bisa tahu mau ngapain, dan ketika selesai mondok, kamu bisa ambil jalan yang lebih terbuka dan beda dari yang lain.