Dulu aku adalah anak paling dibully. Di manapun itu, aku selalu dibully dan nggak pernah merasakan yang namanya punya teman yang baik.
Alhamdulillah, itu hanya terjadi di masa kecilku. Kini, aku bisa mempunyai banyak teman dan bisa bersosialisasi dengan baik dengan semua orang. Aku tahu, diriku di masa kecil pasti merasa iri dengan diriku yang sekarang.
Makanya, kecenderunganku ketika berteman dengan orang-orang adalah sangat menghargai mereka, sangat menyayangi mereka dan menganggap semua orang adalah sahabat. Karena bisa berteman dan dihargai oleh orang lain adalah salah satu dari nikmat yang aku sangat syukuri.
Tapi kadang perasaan menghargai dan menyayangi itu bisa kebablasan.
Dulu, aku nggak pernah berpikir tentang rispek. Atau rasa hormat. Mau hormatnya orang lain kepada kita, juga hormat kita kepada diri sendiri. Karena ternyata dalam bersosialisasi, memposisikan diri bisa mempengaruhi bagaimana sikap orang lain kepada kita dan cara orang memandang kita.
Dulu, siapapun yang meminta tolong kepadaku, aku ladeni. Siapapun yang mengajak untuk melakukan sesuatu, aku langsung luangkan waktu. Siapapun yang mau meminjam sesuatu, aku beri. Pokoknya apa yang teman-temanku minta, maka kuberi dan kuladeni. Tak peduli apakah aku sedang dalam keadaan sempit, lowong, susah atau capek. Hingga aku sampai pada titik di mana aku lelah, secara emosional dan juga fisik.
Aku sampe sempet mikir, “Apa secapek ini buat jadi orang baik?” “Apa sesusah ini buat disukai orang?”
Ternyata bukan. Saat itu, aku bukan jadi orang baik. Aku jadi budak buat mereka. Kalo istilah modern sekarang: People pleaser.
Karena di setiap aspek, akulah yang pasti paling berkorban, paling berusaha, paling effort. Sampe lupa kalo aku juga punya kehidupan sendiri, punya prioritas sendiri, punya jatah waktu yang pastinya berbeda dengan teman-temanku. Aku juga punya hak-hak yang harus dituntaskan.
Sampai aku sadar dan mulai menata kembali, gimana sih caranya berinteraksi dengan orang? Ada beberapa poin penting yang aku tandai dan aku jadikan prinsip.
- Belajar untuk menolak, atau berkata tidak. Ini poin penting banget. Mungkin kedengeran mudah. Tapi untuk kita yang terbiasa mengiyakan dan sama sekali nggak pernah nolak ajakan atau permintaan dari orang, biasanya yang ada di pikiran kita adalah bagaimana orang lain merespon atau memandang kita ketika kita menolak ajakannya. “Aduh, gimana ya kalo dia jadi benci sama aku? Aduh, gimana kalo dia tersinggung? Jangan-jangan kalo aku nggak ikut, nanti..” Stop. Berhenti berpikir seperti itu, karena pikiran seperti itu adalah setan yang menggerogoti dirimu selama ini. Nggak usah pikirkan apa yang orang lain pikirkan.
- Ingat baik-baik bahwa kamu juga punya hak, prioritas, kewajiban dan jatah waktu sendiri. Jangan samakan dirimu dengan orang lain. Jangan berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain. Kalau bisa, buatlah orang lain berusaha menyesuaikan diri mereka dengan dirimu. Buat orang lain tahu kalau kamu bukan pengangguran yang bisa diminta tolong atau diajak kapan saja. Orang akan rispek dan hormat.
- Sebenarnya ini sudah disebutkan di poin pertama, tapi akan kupertegas lagi. Jangan pernah memikirkan apa yang orang pikirkan tentangmu. Tak ada yang meminta kamu untuk menebak-nebak isi pikiran orang lain, yang bahkan kamu sendiri tak bisa melihat atau mendengarnya. Pikiran orang lain itu abstrak dan nggak pernah ada polanya. Sejatinya, ketika kita mencemaskan apa yang orang lain pikirkan terhadap kita, secara tidak langsung menunjukkan bagaimana kita memandang diri sendiri. Jangan pernah berpikir bahwa orang sesensitif itu. Nggak ada yang benar-benar peduli sama kamu kecuali kamu lari dalam keadaan telanjang ke luar rumah.
Aku nggak pernah menyebutkan di poin untuk “Jadilah orang egois.” Tetap jadi teman yang baik, tetap jadi orang yang suka membantu. Tapi tetap tahu bagaimana menempatkan semuanya di tempat yang tepat. Secara umum, prioritaskan dirimu terlebih dahulu sebelum orang lain.