Semenjak memulai karirku mengajar alquran online, aku semakin menyadari banyak hal dan mendapat banyak pelajaran dari pengalaman menjadi sosok guru.
Poin yang paling pertama kali aku rasakan dan berkesan adalah tentang gimana sabar menghadapi berbagai murid dengan berbagai karakternya dan berbagai latar belakangnya. Murid pertamaku adalah contohnya. Pada awalnya aku sudah berharap banyak kepada anak ini untuk menjadi bibit unggul yang bisa kuasah dengan mudah. Karena diantara seluruh muridku, dia yang paling besar, dia juga yang terlihat ‘paling pintar’ dan mudah paham.
Tapi itu semua hanya ekspektasiku, nyatanya, oh jauh sekali. Mulai dari bacaannya yang ternyata banyak sekali salah dari berbagai sisi, aku harus betulkan pelan-pelan. Dan juga dari hafalannya yang ternyata juga hancur sekali, padahal masih juz 30. Dan masalahnya nggak sampai situ.
Dia ini dengan anehnya, susah sekali menangkap satu koreksi atau intruksi simpel dariku. Misalkan dia salah harakat di satu kata. Ketika aku koreksi, maka malah satu ayat panjang itu yang menjadi amburadul dan dia malah kebingungan. Padahal dia tinggal mengubah harakatnya, yang tadinya fathah, menjadi kasrah contohnya. Dia kesusahan.
Satu koreksi saja baginya sudah menjadi neraka, apalagi kalau kesalahannya banyak. Pusing sekali menghadapinya. Dianya kesusahan, aku lebih kesusahan dan sakit kepala. Berusaha sabar aku untuk tetap mengusahakan yang terbaik dan berharap agar dirinya bisa berubah pelan-pelan.
Tapi tetap saja, aku jadi menganggapnya aneh. Karena ketika aku memandang dari mataku, saat aku seumuran dengannya, yaitu kelas 3 SMP. Aku sudah selesai menghafal 30 juz dan sudah terbiasa menghadapi berbagai binaan keras dari ustadzku. Sekedar membenarkan satu harakat itu hal kecil dan sepele bagiku. Bahkan anak kecil pun juga cepet paham kok.
Kenapa muridku yang satu ini kelihatannya tolol sekali?
Setelah aku bicarakan berbagai kendala dan masalah yang kuhadapi dengan umiku, barulah aku mengetahui faktanya, Ternyata memang dulunya, muridku yang susah menangkap sesuatu adalah anak yang berkebutuhan khusus. Dia telat bicara di masa kecilnya karena mengidap disleksia. Makanya dia ada kesulitan dalam berbicara sama nangkep suatu penjelasan.
Dari situ, aku belajar satu hal. Aku nggak bisa menaruh diriku dan muridku di sepatu yang sama. Semua orang memiliki kadar kemampuan yang berbeda dan juga latar yang berbeda. Dan sebagai guru, aku harus lebih mengedepankan empatiku dan tetap sabar.
Jangan pernah berpikir, “Oh, saat aku seumur dengan dia, aku sudah bisa ini dan itu kok. Berarti dia juga harusnya bisa.” Tidak. Karena sekali lagi, aku dan murid-muridku adalah orang yang berbeda dan memiliki latar hidup yang berbeda. Tidak semua orang sama denganku.
Aku juga mendapatkan pelajaran bahwa akan selalu ada orang-orang di bawah kita yang menjadikan kita sebagai pedoman dan contoh, sadar atau nggak sadar. Siapapun kita dan apapun profesi kita, pasti kita menjadi contoh bagi, mungkin, orang yang lebih muda dari kita. Atau bisa saja orang yang lebih tua.
Lebih-lebih lagi, ketika kita memang membranding diri kita sebagai figur yang berperan penting. Contohnya guru.
Ketika menjadi guru, maka otomatis kita tak hanya menjaga sikap kita di hadapan murid saja, tapi di kalangan masyarakat dan di manapun kita berada. Karena guru bukan sekedar nama untuk sebuah pekerjaan, namun juga merupakan tanda dan label mulia dari bentuk pengabdian kita kepada tuhan dan masyarakat. Sebenarnya siapapun kita juga nggak mempengaruhi keharusan kita untuk menjadi baik, karena kewajiban menjadi orang baik itu mutlak.
Aku juga lebih memahami bagaimana perasaan guru terhadap muridnya. Tentang bagaimana kita berharap, bagaimana kita berusaha untuk memberikan yang terbaik dan juga terkadang, kita juga kecewa.
Seringkali aku berharap tinggi sekali kepada muridku ketika mereka mulai menunjukkan perkembangan pesat. Tapi itu hanya di awal. Ketika aku mulai berharap dan mulai menambahkan beban target ke mereka, hanya butuh sementara waktu aja untuk mereka buat stres dan kewalahan. Dan membuatku ingat kembali kalau mereka bukan kita. Kita bukan mereka.
Dan terakhir, poin paling penting. Semangat dan sikap murid kepada guru itu memang sangat luar biasa efeknya terhadap perasaan guru juga. Ketika mereka semangat, ceria dan menunjukkan sifat berterima kasih, itu sangat membuat guru semangat dan merasa terapresiasi. Karena mengajar itu usahanya nggak cuma pas “mengajarnya”, tapi juga banyak di sisi lainnya seperti meluangkan waktu, menahan kantuk, jenuh dan lain-lainnya. Ketika usaha itu semuanya diapresiasi dan disikapi dengan baik oleh murid, insya Allah itu sangat-sangat membantu emosi guru stabil dan semangatnya terjaga.
Lain lagi ketika murid memang dari awal sudah malas. Maka guru pun dalam dirinya pun sangat berat dan malas juga. Karena mau guru seberusaha apapun, kalau muridnya tak menunjukkan tanda semangat dan tak menyikapi dengan sopan, oh, sudah, pulang saja sana. Tak usah habiskan waktu saya buat mengajar murid malas kayak kamu ini (walaupun nggak boleh gitu ya).
Makanya sebagai murid juga, aku selalu berusaha untuk memberikan sikap terbaikku kepada guru, siapapun itu. Minimal senyum dan terima kasih. Itu sudah menjadi dasar solid yang harus diterapkan oleh semua penuntut ilmu.
Semoga Bermanfaat.