ziyad syaikhan

Harga Diri Versus Fungsi

Bagian 1: Barang Mahal = Harga diri?

Ada satu kejadian ketika aku sedang menyapu rumah. Saat aku menyapu kamar Umi-Abi, aku melihat sekilas laptop Macbook Pro yang terparkir rapi di atas meja kerjanya. Ketika aku melihat laptop itu, yang muncul di benakku cuma beberapa kata: Alat buat kerja, buat produksi. Yasudah, setelah aku menyerok debu, aku keluar dari kamar. Nggak ada yang menarik sebenarnya. 

Beberapa menit setelah aku selesai nyapu, pas aku baru mau merebahkan diri, tiba-tiba otakku memutar sebuah flashback.

Aku punya satu teman di kampus yang punya obsesi aneh terhadap barang branded. Suatu hari, usai melaksanakan sholat Ashar di Mushola Kampus. Aku baru balik ke kelas ketika temanku ini tiba-tiba menghampiri. 

“Eh, tadi itu ada ikhwan yang make Iphone 15 Promax lho, mas.” Katanya. Aku heran seheran-herannya pas mendengar itu. Yaudah, terus kenapa? Itu bukan urusanku. Itu adalah hal biasa yang nggak perlu dibahas, kenapa dia harus ngasih tau aku?

Kebetulan orang yang dia maksud adalah kakak kelasku di pondok dulu (yang memang anak orang kaya). “Oh, dia kakel ku dulu di Hamalatul Quran.” 

Dia ber-oh pelan. Tololnya, pembahasan malah berlanjut membahas latar belakang kakak kelasku itu. Semakin dibahas, semakin terpesona pula temanku ini. Wow, orang kaya. Pantesan dia keren. Mungkin gitu pikirnya. 

Kejadian di lain waktu. Ketika aku membuka casing hapeku untuk dibersihkan. Temanku satu ini nyeletuk dari sudut kelas, “Mas, itu Samsung S24 ya? Hape mahal nih.” Aku terheran-heran (lagi). Pertanyaan super aneh macam apa ini. Bodoh sekali. 

Hapeku memang Samsung, tapi ya Samsung biasa. Sedangkan seri yang ia sebutkan adalah seri paling mahal yang nggak mungkin aku bisa beli sekarang (semoga di kedepannya bisa).

Di berbagai momen lain, Ia juga sering secara nggak langsung menunjukkan kalau ia punya barang mahal. Gadget lengkap, pakaian beragam dan necis dan sebagainya. Kami sekelaspun sampai hafal sekali tabiatnya. Hobi flexing

Aku beberapa kali bercakap dengan dia. Aku pernah bertanya, “Mas, antum ini kan punya gadget lengkap, laptop ada, hape bagus, tablet keren. Kenapa ana nggak pernah lihat antum share karya antum di manapun?” Ini adalah pertanyaan tulus bercampur dengan keherananku.

Dia agak bingung ketika mendengar pertanyaanku. “Nggak tau, mas. Ana sebenarnya suka ngedit gitu mas. Ngedit foto, ngedit video ana suka.”

“Kenapa antum nggak pernah share karya antum kalo gitu?” Aku tanya lagi. Selama ini yang aku lihat dia share di sosmed hanya foto selfie genitnya. Itupun hanya di story ig dan bukan di feed.

“Ee.. Nggak tahu si mas, mungkin malu aja kali mas ya.” Jawabannya nggak meyakinkan. 

“Ngapain malu mas?” Aku tetap bertanya. Bukan apa-apa, aku memang penasaran sekali dengan polah aneh dia ini. Bagiku ini agak lain. Dan respon dia selanjutnya ya tetap nggak menjawab pertanyaanku.

Hingga di akhir percakapan, aku mendapat kesimpulannya. Dia belum dewasa. Kedua, aku mulai memahami sudut pandangnya mengenai sebuah barang. Baginya barang branded adalah harga diri yang bisa mengundang respek dan pujaan orang. Ia bukan membeli barang tersebut karena butuh. Ia hanya ingin terlihat keren. 

Morgan Housel, penulis buku “Psychology of Money” pernah menjelaskan fenomena umum yang mirip sekali dengan kejadian temenku ini. Ia menyebutnya “Paradoks Orang dalam Mobil”. 

Ketika kita mengendarai sebuah mobil mewah, Kita sering berekspektasi bahwa itu bisa memberikan sinyal kepada orang lain bahwa kita adalah orang yang sukses, cerdas, berhasil. Seolah kita mengatakan secara tak langsung. Lihat aku. Aku kaya.

Padahal sejatinya, orang lain tak pernah peduli dengan siapa pengemudi di dalam mobil mewah tersebut. Jarang mereka mengatakan, “Oh, pengemudi mobil itu keren.” Mereka lebih sering berpikir, “Jika aku yang naik Ferrari itu, pasti orang akan berpikir aku keren.”  

Sudut pandangku ketika melihat sebuah barang mahal, terutama gadget. Yang aku pikirkan pertama kali pasti fungsi dan fiturnya. Persetan dengan merek. Ketika aku ingin membeli sesuatu, ya pada dasarnya aku ingin membeli fiturnya, aku bisa apa dengan alat ini. Bukan merk atau omong kosong lainnya.

Alhamdulillah, aku bersyukur semenjak kecil dididik oleh orangtuaku bahwa ketika ingin membeli suatu barang, maka tanyakan dulu pada diri sendiri, 

“Apakah aku bisa menghasilkan sesuatu dari barang ini? Apakah barang ini aku memang butuhkan?” Dari pertanyaan singkat ini bisa terlihat bahwa orangtuaku mendidikku untuk melihat nilai suatu barang dari fungsinya. 

Bisa apa aku dengan alat ini?

Aku sebenarnya agak miris ketika temanku itu mengagungkan berbagai barang yang ia sebut, tanpa mengetahui bahwa seluruh barang itu sudah lama bertengger di rumahku. Ya memang, orangtuaku bekerja di salah satu media dakwah dan memang peralatan kerja semuanya mereka mahal. Memang bermerk.

Tapi yang kita memandang semua barang itu ya sekedar ‘peralatan kerja’. Kalau adek-adeku yang masih kecil memandangnya sebagai sarana nonton dan bermain. Nggak lebih dari itu.

 Bagian 2: Kesalahan Berpikir

Dari satu sosok temanku itu, aku mendapatkan banyak pelajaran. Satu kesimpulannya, semuanya kembali ke mindset atau pola pikir kita. Karena emang ini menjadi faktor terbesar kita dalam berbuat dan memandang. Termasuk dalam kasus ini, melihat barang mahal, bermerk.

Dalam masalah ini, camkan dalam otak bahwa harga diri seseorang nggak ditentukan dari seberapa mahal barang yang dimiliki. Karena pada akhirnya itu semua ya hanya sekedar barang. Benda mati. Nilai dari barang itu bukan dari harganya yang mahal, melainkan dari apa yang sudah dihasilkan dari alat itu atau manfaat apa yang kita telah ambil. 

Sedangkan rispek dari orang justru kamu akan dapat dari karya yang kamu buat dan tunjukkan. Value mu terlihat dari skill dan portofoliomu. Gear mu? Hanya alat pembantu saja. Orang tak akan peduli sejelek apa alatmu jika karya yang kamu hasilkan luar biasa. 

Aku bisa berikan kamu kaedah 3Q (3 Questions) kepadamu yang bisa diterapkan setiap kali ingin membeli barang mahal. 

“Apakah aku memang butuh sekali atau sekedar pengen-pengen saja?” 

Dan untuk menjawab pertanyaan pertama ini aku bisa bilang nggak semudah itu. Aku sarankan pikirkan dulu jawaban ini hingga 2 hari, 3 hari atau bahkan seminggu. Simpan dulu keinginanmu sambil menimbang berbagai hal. 

Ketika kamu sudah mendapatkan jawabannya, maka lanjut ke pertanyaan berikutnya. 

“Apa fitur / manfaat yang kamu ingin cari?” Seperti yang aku tegaskan di awal, kita sejatinya ingin membeli fungsi. Lazimnya, semakin mahal harga sebuah barang, semakin banyak fitur yang kamu harapkan. 

Pertanyaan ketiga, “Berapa budget maksimalmu?” Nggak semua dari kita berasal dari keluarga berada. Apalagi untuk yang sudah paham sukarnya mencari duit sendiri. Nggak mungkin pertanyaan ini bisa dihindari. 

Ketika kamu sudah mendapatkan jawabannya, maka kamu sudah mempunyai patokan kuat dalam memilih calon barang barumu. Syarat dari penerapan kaedah 3Q ini hanya satu: hilangkan gengsi dari kamusmu. Pokoknya hilangkan. Ketika kamu tak menghapus gengsi dan egomu, kaedah ini tak akan ada gunanya.

Betapa banyak orang yang punya berbagai barang mahal tapi di balik itu ia jungkir balik membayar cicilan hutangnya. Kenapa? Karena gengsinya. Ia hanya ingin mengejar harga diri yang ia ciptakan sendiri dalam kepalanya. 

Ia akan melakukan segala cara, sesusah apapun itu, asalkan dirinya terlihat keren di mata sosial. 

Bagian 3: Menghilangkan Standar Gaya Hidup dari Kamus

Ada satu bagian lagi dari buku Psychology of Money yang aku suka sekali. Ketika Morgan menceritakan tentang perjalanan finansialnya bersama istrinya: 

Saya dan istri saya bertemu ketika kuliah dan kami tinggal bersama bertahun-tahun sebelum menikah. Sesudah kuliah kami sama-sama mendapatkan pendapatan pekerjaan pertama dengan gaji tingkat pemula, dan bergaya hidup moderat. Segala gaya hidup ada di satu kisaran, dan yang biasa bagi satu orang bisa terasa mewah atau pas-pasan bagi orang lain. Namun, dengan pendapatan kami, kami bisa mendapat apartemen lumayan, mobil lumayan, pakaian lumayan dan makanan lumayan. Nyaman, tapi tak mewah. 

Meski sudah satu dasawarsa lebih mengalami kenaikan pendapatan-saya di bidang keuangan, istri saya di bidang perawatan kesehatan-kami tetap dalam gaya hidup seperti itu. Itu mendorong tingkat tabungan kami semakin tinggi. Hampir setiap dolar kenaikan pendapatan masuk ke tabungan-”dana kemandirian”. Sekarang kami hidup di bawah kemampuan kami dan lebih menunjukkan keputusan melanjutkan gaya hidup yang kami tetapkan pada umur 20-an. 

Jika ada bagian rencana keuangan rumah tangga kami yang kami banggakan,  itu adalah karena kami bisa menghentikan kenaikan standar gaya hidup ketika muda. Tingkat tabungan kami cukup tinggi, tapi kami jarang merasa terlalu hemat karena keinginan kami akan harta tidak banyak berubah. Bukanya kami tak punya keinginan-kami suka barang bagus dan hidup nyaman. Kami hanya menghentikan kenaikan standar. 

Aku nggak perlu menjelaskan panjang lebar lagi. Cukup baca baik-baik tulisan yang aku tebalkan. Itu intinya. Hentikan menaikkan standar hidup.

Sekarang kita hidup di zaman penuh dengan standar mentah yang dishare di sosmed tanpa ada dasar ilmu. Salah satunya adalah standar hidup yang berlebihan dan secara tidak langsung mengatakan kita hanya bisa hidup nyaman ketika kita hidup glamour.

Padahal hidup nyaman tak pernah harus mewah. Itu hanya tergantung pikiran dan cara pandang kita. Masalahnya, pola pikir kita sangat mudah terpengaruh oleh apa yang kita lihat. Terutama di sosmed.

Mark Manson mengatakan dalam buku termasyhurnya: Tidak terbatasnya hal yang dapat kita lihat atau ketahui saat ini, tidak terbatas pula cara kita menemukan bahwa diri kita tidak cukup bagus dan merasa kecewa karena berbagai hal yang tak daripada yang seharusnya bisa dicapai. Dan inilah yang mengoyak diri kita dari dalam.

Singkatnya, semakin banyak kita melihat ‘kekayaan’ orang lain, semakin kita tak bisa bersyukur. Karena standar hidup kita menjadi selalu disetir oleh fyp sosmed kita. Tak akan ada habisnya.

Next Post

Previous Post

Leave a Reply

© 2025 ziyad syaikhan

Theme by Anders Norén