Ada suatu momen ketika aku membaca buku “Seni Bersikap Bodo Amat” karya Mark Manson, aku menemukan satu poin yang menarik. Tentang standar atau nilai-nilai di kepala kita.
Singkat kata, Mark menjelaskan di situ bahwa “cara kita memandang dan menyikapi sesuatu adalah tergantung dengan nilai dan standar yang kita pegang dalam benak kita.” Memang betul.
Dia memberikan dua-bahkan tiga cerita sebagai contohnya. Aku akan menyebutkan dua di antaranya. Dua kisah ini sama-sama bercerita tentang dua anggota band yang didepak dari klubnya sendiri. Sama-sama mendadak, sama-sama tanpa sebab.
Orang pertama menyikapi dengan marah dan dendam. Ia berjanji akan membuat band-nya sendiri dan menjadi lebih sukses daripada band yang meng-kick-nya. Singkat cerita, ia sukses mewujudkan cita-citanya. Ia berhasil membuat bandnya besar sendiri dan berhasil menjual jutaan copy album. Namun, setelah semua kesuksesannya itu, ia masih merasa sedih dan tak puas. Penyebabnya? Karena ia masih kalah sukses dari band yang dulu memecatnya. Ia hanya berhasil menjual sekitar 25 juta copy albumnya. Sedangkan mantan bandnya dulu menjual lebih dari 180 juta copy.
Ia tak bahagia. Karena standar kesuksesan dalam kepalanya adalah menjadi lebih sukses daripada mantan bandnya. Itu tak tercapai dan ia kecewa terhadap standarnya sendiri.
Beda halnya dengan orang kedua. Ia juga dipecat tanpa sebab, ia juga depresi dan merasa sedih. Ia melewati banyak fase berat dan bahkan hampir saja bunuh diri. Tapi di sisa hidupnya, ia menjadi orang yang bahagia dan tenang. Ia tak membuat band baru dan menjadi terkenal, membalaskan dendamnya. Ia hanya memilih untuk belajar menerima masa lalunya dan membuat nilai kebahagiaannya yang baru.
Di salah satu wawancara, ia bahkan menyebutkan bahwa hidupnya sekarang lebih bahagia ketimbang ketika dirinya masih bersama band-nya. Ia sudah merasa cukup dengan apa yang ia miliki sekarang: keluarga yang hangat, pernikahan yang stabil dan kehidupan sederhana.
***
Membaca dua kisah singkat itu sudah cukup membuat kita mengerti bahwa ini semua hanya soal mindset. Bagaimana cara kita memandang dan merespon dimulai dari bagaimana kita mengatur pola standar kita. Walaupun di beberapa kasus, sebuah standar terbentuk secara tak sadar. Contohnya, saat kita terlalu sering melihat orang berparas tampan atau cantik di sosmed. Alam bawah sadar kita mengatakan, “Jika aku cari pasangan, aku mau cari yang seperti mereka.” Dan nantinya kita kecewa karena tak pernah menemukan calon pasangan yang sesuai dengan standar dari sosmed itu.
Rampung membaca bab tersebut, aku menaruh buku Mark di atas meja angkringan. Saat itu, aku sedang membaca di tepi jalan, di sebuah angkringan kosong yang sedang tutup.
Aku merasa ada yang ganjil. Ada perasaan bahwa bab ini sedang membahas masalah yang aku sedang alami. Beberapa saat merenung, aku teringat wajah bapakku yang selalu berkoar tentang standar kedewasaan versinya.
Biar lebih jelas, jujur, semenjak aku masih kecil, aku senang dan ingin dianggap dewasa. Aku tidak tahu jelasnya definisi dewasaku saat itu apa. Simpelnya, aku ingin diperlakukan sama seperti orang dewasa. Jadi orang dewasa itu keren! Pikir diri kecilku yang gigi susunya masih penuh jigong.
Lama-kelamaan, definisi dewasa itu berubah seiring bertambah usiaku. Hingga sampai satu fase dimana aku secara tak sadar selalu berusaha mengejar kedewasaan yang bapakku selalu definisikan.
“Oh, jika kamu masih begini-begitu, maka itu tanda kalau kamu belum dewasa.”
“Jika kamu sudah seperti itu, berarti tandanya kamu mulai tambah dewasa.”
“Dewasa itu bukan masalah umur atau perilaku. Lebih ke pemikiran dan bla bla bla.”
Setiap bapakku mengomentariku dan mengaitkannya dengan kedewasaan, aku selalu menandai perkataannya dalam benak dan berjanji akan menjadi lebih dewasa lagi di kemudian hari. Meskipun aku tak sepenuhnya paham dengan perkataan bapakku. Tapi aku terus memaksa diriku untuk menjadi dewasa.
Siklus itu terus berulang. Komentar standar dewasa bapakku tak pernah habis dan aku pontang-panting terus berupaya menjadi sosok pria dewasa maskulin sempurna versi perkataannya.
Waktu seolah melayang sekejap. Adegan kembali ke angkringan kosong. Momen ketika aku sedang membaca buku Mark Manson di tepi jalan. Tepat di momen itu, sambil mengorek kuping, aku tersadar.
Untuk apa aku selalu berusaha mengejar standar kedewasaan yang bapak selalu definisikan?
Kenapa aku egois sekali mendengarkan komentar bapak dan selalu memasukkannya ke hati?
Padahal jika aku renungkan kembali. Kedewasaan itu sendiri merupakan sesuatu yang abstrak, kompleks dan tak hanya berkaitan dengan satu, tapi berjuta aspek dalam kehidupan.
Contoh, mungkin ada orang yang dewasa ketika mengatur keuangan dan finansialnya, namun belum dewasa dalam mengatur emosinya.
Atau ada orang yang dewasa dalam memahami prinsip-prinsip kehidupan, namun dalam menjaga kebersihan diri dan kamarnya saja dia masih tak mampu.
Maksudku, kita bisa saja dewasa di suatu hal, namun belum dewasa di hal lainnya.
Kedewasaan bukanlah hal yang bisa diraih dengan sprint. Hanya sekejap, lalu tiba-tiba kita menjadi orang dewasa sempurna akal, pikiran dan jasmani. Kau kira kedewasaan sama dengan kitab Taurat yang langsung turun secara utuh?
Kedewasaan adalah hal kompleks dan bercabang. Tak ada cara lain untuk meraihnya selain menikmati prosesnya dan belajar. Meraih kedewasaan adalah sebuah marathon panjang. Tak akan ada cara untuk mencapai garis finish selain terus maju melalui jalur yang memang harus dilalui.
Jika begini, apa artinya sekarang aku sudah mempunyai standar dewasaku sendiri? Nggak. Aku baru 18 tahun hidup di dunia ini. Aku masih belum memiliki cukup pengalaman. Marathon-ku baru saja dimulai. Aku akan menikmati prosesnya dan (mungkin) insya Allah akan menemukan jawabannya di 22 tahun mendatang.