Hari ini pukul 13:05, hujan deras membungkus kota Jogjakarta. Angin berhembus sepoi, mengirimkan hawa dingin kemana-mana.
Di sebuah gang, terdapat sebuah kafe kecil yang sebenarnya merupakan tempat pemanggangan biji kopi (roastery). Pier Coffee namanya. Dan aku sudah duduk di dalamnya semenjak 1 jam yang lalu, menonton jutaan butir air yang terjun bersamaan ke tanah. Ditemani seekor kucing oren yang menjilati bijinya di sampingku.
Gelas kopiku sudah kosong semenjak lama, tak ada bedanya dengan isi benakku. Di hadapanku, teronggok notes usangku yang sudah kucoret-coret dengan ide dan catatan. Di sampingnya, ada buku, di sampulnya tertulis 100 Langkah Ampuh Memikat Janda Muda Prawan. Nggak, aku bercanda. Itu hanya buku tulis lain dengan ukuran yang lebih lebar.
Tapi kalo dipikir-pikir, mendapatkan janda muda perawan tak ada salahnya juga kan?
Aku menghela nafas panjang, tatapanku masih tak lepas dari pemandangan hujan yang mulai mereda.
“Hey, Manusia.” Aku terperanjat, suara dari mana itu? Aku pikir selama ini aku sendirian. Masalahnya, tak ada orang lain yang aku sadari keberadaannya.
“Hey, bodoh. Aku di sini.” Suara itu kembali memanggil. Aku menoleh kesana-kemari. “Hey!” Aku menunduk, menatap kucing oren yang duduk melipat di dekat kakiku. Ia balas menatapku, air wajahnya seolah merendahkan.
“Tak ada yang membersamaimu selain aku semenjak tadi, Manusia. Kenapa kamu harus mencari-cari lagi?” Aku melotot tak percaya. Kucing oren itu baru saja berbicara! Tuhan, apakah ini mimpi?
“Aku kasihan dengan dirimu yang terlihat kesepian semenjak satu jam yang lalu. Ada apa denganmu, Manusia. Kemanakah kawan-kawanmu?” Kucing oren itu bertanya, tak peduli dengan mataku yang masih memelototinya.
Mungkin mengobrol dengan kucing tak ada salahnya juga. Dari intonasinya yang berat, sepertinya ia adalah jenis kucing yang bijak.
“Ah, mereka ada, sih, hanya saja sekarang aku sedang ingin sendiri, Cing.” Jawabku. Kucing oren itu mengangguk takzim,
“Aku paham rasanya. Kadangkala berteman bisa menjadi suatu hal yang melelahkan.” Ujarnya, aku mengangguk setuju. Suasana kembali hening, menyisakan suara gerimis.
“Pacarmu?” Tanyanya kembali. Aku menggeleng, “Aku tak akan pernah pacaran, agamaku tak memperbolehkannya.”
Kucing oren itu kembali mengangguk sambil merubah posisi duduknya. Tangannya merogoh sesuatu dari dalam bulu tebalnya. Aku melotot ketika dia mengeluarkan sebungkus rokok Sampoerna lengkap dengan koreknya. Ia mengambil satu batang, menaruhnya di bibirnya.
“Bisa kau tolong pantik rokokku?” Pintanya. Aku masih melotot tak percaya, tapi tanganku manut meraih korek dan menyalakannya. Asap tebal keluar dari mulutnya, menyebarkan aroma tembakau yang pekat.
Luar biasa. Kucing ini badass sekali.
“Apakah kamu pernah bertanya kepada dirimu, apa yang telah atau ingin kamu berikan kepada dunia ini?” Kucing oren itu tiba-tiba bertanya, sembari mengisap rokoknya.
Aku merenungi pertanyaannya. Melupakan fakta bahwa dia adalah seekor kucing.
“Tidak, pada dasarnya aku tak peduli bagaimana dunia melihatku. Pada dasarnya juga tak ada yang peduli. Toh ujungnya, aku juga akan mati dan terlupakan, jadi untuk apa bersusah-susah berusaha memberikan sesuatu kepada dunia?” Ujarku.
“Setidaknya, dengan memberikan sesuatu, namamu akan dikenang?” Mulutnya menghembuskan asap tebal.
“Ah, aku bukan orang seperti itu.” Aku menunduk, menatap lantai dari semen.
“Lalu, apa yang selama ini memotivasimu untuk terus maju dan berusaha?”
Mendengar pertanyaan itu, aku tertegun sejenak.
“Orangtuaku.” Jawabku setelah jeda yang cukup lama. “Oh, jawaban ini dalam sekali.” Kucing oren itu mengusap telinganya–seolah ia sedang merapikan rambut.
“Ya begitulah, Cing. Aku adalah anak pertama di keluarga. Harapan pertama orangtuaku dan teladan utama bagi saudara-saudaraku.
Jika kamu bertanya kepadaku, ‘apa mimpimu?’ Maka sungguh aku tak memilikinya. Bagiku, cukup menjalani kehidupan sesuai alurnya saja sampai mati, tak usah berusaha.
Orangtuaku lah yang memberiku berbagai mimpi dan harapan itu. Setiap tangisan, wasiat dan segala yang mereka korbankan padaku, semuanya semata karena mereka ingin anaknya mewujudkan cita-cita lama mereka yang tak bisa mereka gapai ketika muda.
Singkatnya, aku ingin membanggakan mereka dengan keberhasilanku di masa depan. Membuktikan bahwa anak paling nakalnya juga bisa melakukan yang terbaik” Aku menghela nafas panjang, begitu pula si Kucing Oren–seolah dia mengerti sekali.
“Apakah kamu merasa sudah memberikan sesuatu kepada orangtuamu sekarang?” Tanyanya sambil menghembuskan asapnya ke wajahku.
“Belum. Aku rasa, aku lebih rajin menumpuk rasa kecewa mereka daripada rasa bangga itu.
Genangan air mata Ibu telah menjelma menjadi lautan –api kemarahan Bapak telah berkobar hebat, namun aku masih belum memberikan apapun yang mereka harapkan.
Sebuah permintaan maaf pun, tak akan cukup untuk menebusnya.
Karena inilah aku berkali-kali merasa diriku telah gagal.” Lidahku tercekat. Rasanya agak ngilu ketika mengatakan ini.
Si Kucing Oren menghembuskan asap terakhirnya, habis sudah rokok sebatang. Lantas melempar puntungnya ke tanah.
Ia lompat ke atas meja, tangan kecilnya meraih punggungku, mengusapnya pelan.
“Hey, Manusia. Kamu masih muda. Kesempatanmu masih banyak dan perjalananmu masih sangatlah panjang.
Selama kamu masih terus berusaha, masih terus memperjuangkan segalanya, kamu bukanlah orang yang gagal.
Ini hanya soal waktu. Kamu hanya perlu bersabar dan terus melakukan apa yang kamu harus lakukan.
Ketika Tuhan telah berkehendak, maka ia akan mengganjar segalanya sesuai jerih payahmu atau bahkan lebih baik dari yang kamu harapkan.
Hey, Manusia.
Untuk apa kamu berlarut dalam kesedihan? Aku tahu harapan mereka terasa sangat menyakitkan ketika masih bergelantung tanpa jawaban di punggungmu.
Rasanya seolah kamu selalu dihantui oleh entitas yang tak terlihat.
Namun, pada dasarnya itu hanyalah perasaanmu yang dilebih-lebihkan.
Orangtua yang baik akan tetap menyayangimu sehancur apapun kamu.
Cukup kau cium tangan mereka nanti dan katakan:
Ibu, Bapak, tolong doakan diriku yang terbaik dan tunggu. Insya Allah, aku akan terus berusaha hingga seluruh cita-cita lama itu tercapai. Meskipun aku tak bisa berjanji kapan pasti semuanya akan terwujud.
Selama Bapak-Ibu masih bernafas dan bisa melihatku, tolong kirimkan doa terbaik kalian dan tunggu.
Anakmu ini sedang berusaha.”
Aku menatap langit. Hujan telah berhenti, awan kelabu itu perlahan pudar, menyingkap cerahnya warna langit yang biru.
Rasanya indah sekali.
Ketika aku menoleh, si Kucing Oren itu telah menghilang.
Aku tak pernah menyangka akan diberi petuah oleh seekor kucing. Ada setitik penyesalan di hatiku karena tak sempat menanyakan namanya.
Aku bangkit dari tempat dudukku. Memutuskan untuk pulang.
***
Si Kucing Oren melompat gesit dari atap ke atap. Setiap langkahnya meyakinkan dan tak bersuara.
Ia berhenti di salah satu atap rumah favoritnya. Di mana ia bisa menikmati pemandangan cantik kota Jogja lengkap dengan gunung Merapi dan Merbabu sebagai latarnya.
Ia duduk dan langsung memantik rokoknya.
Ketika sedang asyik duduk-duduk, seekor kucing betina putih dari kejauhan menarik perhatiannya.
“Amboi, cantiknya. Kawinin ah.”