ziyad syaikhan

Menghilang, Memotret dan Bersyukur

Bagian 1 : Dimensi Lain

Dalam perjalanan hidupku, satu hal yang paling berkesan dan merubah sudut pandangku adalah street photography alias fotografi jalanan.

Dalam street photography, ada dua elemen penting yang wajib dikuasai oleh seluruh fotografernya: peka terhadap momen yang terjadi di sekitarnya dan menghilang.

Satu ciri khas fotografi street adalah menangkap momen spontan dan apa adanya. Karena umumnya subjek yang diabadikan adalah manusia, maka setiap kali fotografer ingin memotret, ia harus berusaha agar keberadaannya tak disadari oleh subjek agar momen yang diabadikan tetap alami dan tidak dibuat-buat. Sama seperti ketika singa hendak mendekati perlahan mangsanya sebelum menerkamnya, fotografer jalanan memiliki kemampuan yang mirip. Karena itu aku meyebutnya menghilang.

Begitu pula diriku. Setiap kali tanganku sudah menggenggam kamera, aku akan menghilang. Jika diibaratkan dalam sebuah game, aku adalah spectator yang tak terlihat wujudnya oleh pemain lain, namun tetap bisa menonton gerak-gerik mereka. Seolah aku berada di dimensi lain.

Hal paling berkesan dalam perjalanan memotretku adalah pemandangan di jalanan yang berkali-kali menyadarkan bahwa kehidupanku jauh lebih baik dan cukup daripada mereka, para pejuang yang kutemui di jalanan.

Di bawah teriknya matahari, ketika aku sendiri sudah kewalahan dengan cuaca yang membakar, ada ibu tua yang terseok menarik gerobak sampahnya, ada para tukang yang harus mengangkat bata, mengaduk semen dan memotong kawat besi. Ada abang cilok dan rujak yang mendorong gerobaknya sembari berdoa dagangannya hari ini laku, ada jurlantas yang semangat sekali mengatur lalu kendaraan sembari nyeker, ada ojol yang tertidur di tepi jalan di atas motornya karena kelelahan. Ada pula sopir truk yang mungkin sudah menempuh berkilo-kilo perjalanan tanpa henti. Ada para penjaja koran yang berkeliling dari lampu merah ke lampu merah lainnya.

[ðŸ“ļ jika kamu ingin menjelajahi karya potretku yang lain, bisa mengunjungi instagramku di tautan ini. Segala bentuk apresiasimu akan sangat berarti bagiku.]

Aku sebagai pengamat tak mampu berbuat apapun selain memotret dan terus merenung, sembari berdoa agar Tuhan senantiasa menjaga mereka.

Setiap kali aku disuguhi seluruh pemandangan ini, aku selalu bertanya kembali kepada diriku: “Apakah memang kehidupanku yang memang serba kurang atau aku yang tak pernah merasa cukup?”
Aku terus merenung hingga aku menyadari kebiasaanku yang terlalu sering melihat kehidupan mewah orang lain di sosmed, sehingga secara tak sadar kehidupan mereka menjadi standar hidup cukup yang ingin kugapai.

Aku teringat salah satu kutipan dari buku karya Mark Manson, “Seni Bersikap Bodo Amat” ketika ia membahas standar dan nilai yang kita pegang sangat berpengaruh ke bagaimana kita memandang dan merespon hal di sekitar kita. Dan salah satu akibat otak kita membentuk standar baru tanpa kita sadari adalah terlalu banyak menonton sosmed.

Setiap harinya kita disuguhi oleh berbagai “bentuk kesempurnaan hidup” orang lain. Sehingga ketika akhirnya kita menaruh hape, kita jadi menganggap apa yang kita miliki sekarang kurang. Hal-hal yang tadinya tak masalah menjadi masalah.

Satu-satunya caraku untuk mengembalikan dan melempar jauh-jauh standar tak logis itu adalah dengan kembali melihat realita pahit yang terjadi di sekitar, saat aku memburu foto di jalanan.

Bagian 2 : Keluarga Gila

Beberapa hari yang lalu, aku bersama keluargaku mengadakan acara berenang bersama ke Kolam Renang.

Aku kira keluargaku sudah gila, karena saat itu hujan sedang turun luar biasa deras, hampir mendekati badai.

Untuk kamu ketahui, keluargaku terdiri dari 7 orang. Bapak, Ibu dan 5 anak, sudah masuk kategori keluarga besar. Dan kami tak memiliki mobil. Kendaraan yang kami punya hanya sebuah motor Kharisma peyot dan sebuah motor Revo.

Tujuh orang dibagi ke dua motor tentu tidak akan cukup. Solusinya, aku sebagai anak pertama mengalah, berangkat dengan Gojek.

Singkat cerita, karena kami gila, kami berhasil berangkat dan akhirnya melaksanakan agenda yang lama tertunda. Ketika sampai di Kolam Renang, aku agak terkejut ketika menemukan ada keluarga-keluarga gila lainnya yang juga tetap berenang di cuaca ekstrim ini.

Tapi aku bukan mau membahas tentang aktifitas di kolam renang. Momen paling berkesan dari momen ini justru aku dapatkan dalam perjalanan pulang.

Ketika keluargaku yang lain sudah pulang terlebih dahulu, aku masih menunggu Gojek pesananku datang-perjalanan dia menjemputku lama sekali karena melawan macetnya jalanan. Langit kian gelap karena waktu sudah mendekati Maghrib.

Aku baru berangkat pulang seusai shalat Maghrib.

Sepanjang jalanan, aku membisu. Begitupula si Bapak Gojek. Hanya menikmati padat dan riweuhnya jalanan Jogja.

Meskipun aku tak sedang hunting foto, kepekaanku terhadap sekitar tetap tajam, mataku memperhatikan setiap manusia dengan ceritanya masing-masing.

Ketika mulai memasuki wilayah kampus UGM, hatiku remuk. Di tepi jalanan, mataku menangkap beberapa orang tua yang duduk hanya berteduhkan kardus dengan barang dagangan yang basah di hadapannya.

Ada di antara mereka yang duduk bersama pasangannya, tapi sisanya hanya sendiri.
Aku bisa melihat pandangan mereka menerawang jauh penuh harap ke arah kerumunan kendaraan. Aku seolah bisa mendengar mereka berdoa agar ada satu saja manusia baik yang membeli dagangannya. Mereka hanya ingin makan dan terus bertahan.

Dalam lubuk hati terdalamku, perasaan bersalah itu kembali menjalar.

Lihatlah, mereka semua orang yang sudah tua, hidupnya tak tentu, setiap hari mereka harus membanting tulang demi sesuap nasi, namun mereka masih tetap berjuang. Mereka terus bertahan hidup meskipun Tuhan bertubi-tubi menguji mereka. Mereka tak pernah putus asa seburuk apapun keadaannya. Mereka terus mencari serpihan rezeki yang Tuhan sembunyikan di jalanan.

Sedangkan aku?

Aku hanya seorang manusia tamak yang tak pernah bersyukur dengan nikmat-Nya yang berlimpah. Diriku hanya mampu mengeluh dan senantiasa meminta yang lebih dan lebih. Aku terlalu sering memandang ke atas, hingga lupa terhadap mereka yang tersungkur jauh di bawah tapi tetap berjuang dan tak pernah putus asa.

Jika kamu merasa kurang bersyukur hari ini, cobalah keluar. Menghilanglah dan amati para pejuang di jalanan yang kehidupannya jauh lebih susah, namun rasa syukurnya lebih luas daripada dirimu.

Belajarlah dari mereka dan jangan sampai kamu pulang sebelum mendapatkan hikmahnya.

Next Post

Previous Post

Leave a Reply

© 2025 ziyad syaikhan

Theme by Anders Norén