Bagian 1: menulis semejak dini
Aku sudah mulai ngeblog semenjak SMP. Bisa dibilang, aku beruntung karena ibuku memang seorang blogger profesional di WordPress yang juga sudah memiliki banyak pembaca. Beliau mendorongku untuk mulai berkarya semenjak dini dan mengasah bakatku di dunia kepenulisan.
Ketika aku baru mulai, aku tak banyak dituntut dengan berbagai tetek-bengek kaedah penulisan dan hal kompleks lainnya. Aku hanya disodori sebuah blog dengan domain gratisan dan diminta untuk menulis apa saja yang ingin kutulis. Terserah. Bodo amat tulisanmu cantik atau tidak, rapi atau brodol, baku atau kacau, yang penting kamu menulis dulu. Begitu ujarnya.
Aku manut, maka aku mulai menulis.
Tulisanku di blog tak ada bedanya dengan tulisan di buku diary. Aku tak peduli dengan tata bahasaku, tata tulisanku, yang penting aku bercerita, curhat dan menjadi diri sendiri.
Mungkin jika hari ini aku harus membuka lagi tulisan lamaku dan membacanya, aku akan muntah.
Tema yang kutulis ya juga suka-sukaku. Umumnya tulisanku membahas pengalaman pribadi– mudik, jalan-jalan ke kebun binatang, atau cerita di pesantren. Kadang juga membahas tema random seperti menulis ulasan varian terbaru sepeda Polygon, membahas beberapa mobil drift top di dunia atau tempat wisata rekomendasi yang sudah dikunjungi sebelumnya.
Aku menulis semua ini di umurku yang masih 12 tahun. Lucu, tapi aku bersyukur karena dari berbagai eksplorasi inilah aku belajar berekspresi dan bereksperimen dengan berbagai hal.
Tentu saja di samping padatnya artikel yang aku hasilkan, juga dibarengi dengan membaca buku. Saat itu, aku banyak membaca novel hanya karya dari dua penulis: Tere Liye dan Andrea Hirata. Sehingga dari membaca karya-karya mereka, gaya tulisanku banyak terpengaruh olehnya.
Aku belum membaca buku ilmiah ketika itu.
Bagiku buku self-improvement tak ada bedanya dengan buku tes CPNS yang berisi ratusan soal: membosankan.
Bagian 2: Salah Niat
Tahun berlalu hingga sampailah di era sekarang. Di mana aku sekarang sudah jauh lebih produktif menulis dan perlahan membuka diri untuk membagikan karyaku di platform selain di blog sendiri. Salah satunya di Medium ini.
Ada beberapa hal yang kurasakan ketika baru mulai menulis di Medium, setelah bertahun-tahun hanya menulis di blog pribadi.
- Jauh lebih hidup.
Ketika pertama kali diriku menjelajahi laman Medium, membaca berbagai karya penulis lain dan menemukan banyak hal baru, aku terkesima. Ada perasaan lega yang timbul dalam hati, karena selama ini aku mengira dunia literasi di Indonesia, terutama blog, nyaris mati.
Ya tak salah. Dari data yang ada, zaman sekarang, negara kita termasuk salah satu dari negara yang anjlok dalam hal literasi. Ketika bang Darwis (Tere Liye) memaparkan fakta tersebut di layar segede gaban di salah satu acara seminarnya, aku nyaris putus asa.
Oh, mamma mia. Apakah di masa depan, hanya diriku seorang yang akan melanjutkan dunia kepenulisan negara pertiwi ini. Oh, Tuhan, tak mungkin. Huhu. Kataku sambil mengelap ingus kuning yang bergelantung di hidung dengan anggun (ini hanya dramatisasi).
Yang jelas, awalnya aku mengira aku sendirian. Memang selama aku menulis di blog pribadi, rasanya semangatku sangat kurang. Bagaimana nggak? Tak ada yang membaca, tak ada komentar, tak ada interaksi. Kunjungan dari orang paling maksimal cuman sebiji dua biji, itupun belum tentu mereka benar-benar membaca. Blogku tak ada bedanya dengan perpustakaan berdebu yang tak menarik. Sehingga aku pun juga jadi malas menyentuh dan merawatnya.
Momen ketika aku bergabung menjadi penulis Medium dan bergabung dengan beberapa komunitas penulis Indonesia, ada rasa bahagia yang menjalar dari ujung jempol kaki sampai ubun-ubun.
Ternyata, masih banyak orang yang suka menulis.
Ternyata, tulisan orang sangat beragam karakternya.
Ternyata, orang biasapun dan tak dikenal pun bisa menghasilkan berbagai artikel luar biasa.
Ternyata, aku tak sendirian.
Ketika aku mulai mengunduh beberapa karyaku di Medium dan mendapatkan tepukan, betapa senangnya aku. Meskipun mungkin hanya beberapa tepukan, itu tetap berarti sudah ada yang membaca karyaku.
Dunia kepenulisanku terasa lebih hidup di sini.
- Sarana Belajar Menulis yang Efektif
Selain mendapatkan suasana sosial yang lebih mantap di Medium, ada kesadaran belajar yang lebih kuat tumbuh dalam diriku.
Ketika membaca karya para penulis Medium, aku menyadari bahwa kualitas tulisanku selama ini jauh sekali dari kata bagus. Meskipun aku sudah banyak menulis sebelumnya, aku tak pernah peduli dengan estetika dan kerapihan bahasaku. Seperti yang aku sebutkan di atas, aku menulis blog tak ada bedanya dengan menulis diary. Kalimatku kocar-kacir dan banyak bertela-tele. Tulisanku panjang luar biasa, namun hampir tak ada poin penting yang bisa dipetik.
Beda dengan karya para penulis senior di Medium, terutama penulis luar. Tulisan mereka singkat, tegas, lugas tapi daging semua. Banyak sekali poin yang bisa diserap hanya dengan membaca sebuah artikel dengan durasi 5 menitan.
Ini menjadi poin introspeksiku dan aku segera mengambil inisiatif untuk belajar.
Poin penting dalam belajar menulis di Medium dimulai dari satu poin: Bergabung dengan Publikasi. Agar tulisanmu terangkat dan terlihat, tentu kamu harus bergabung dengan berbagai komunitas di Medium dan aktif mempublikasikan karyamu di sana.
Dari sini, akan ada dorongan dari dalam untuk berusaha memberikan tulisan terbaik. sekaligus mendapatkan koreksi dari para editor di Medium dan mungkin dari penulis asing yang meninggalkan komentar privat di artikelmu.
- Pengganti Sosmed Terbaik
Selama ini, aku berusaha keras untuk berperang dengan candu scrolling yang menggerogotiku. Aku bingung bagaimana caranya lepas dari keinginan untuk scrolling berjam-jam itu, namun seringkali usaha tersebut gagal.
Memang sosmed zaman sekarang dah tak ada bedanya lagi dengan narkoba. Candunya kuat sekali dan jika sudah sekali tenggelam di dalamnya, maka susah keluarnya.
Aku sudah mencari banyak cara untuk beralih dari scrolling menjadi reading. tapi seringkali usaha tersebut gagal. Membaca buku terasa sangat membosankan bagiku yang terlanjur nyaman dengan dopamin instan dari scrolling. Ada rasa sakau yang menimpaku ketika aku tak membuka instagram atau X.
Semuanya berubah ketika Medium hadir di pinggir layar hapeku. Banyak sekali artikel dan cerita menarik yang menurutku jauh lebih menghibur dan bermanfaat tentunya daripada sekedar tenggelam di reel singkat tiada berujung.
Setiap aku mengakhiri sesi scrolling sosmed setelah berjam-jam, aku selalu merasa lelah. Otakku terlalu banyak menelan informasi singkat dan cepat sekali berpindah dari satu topik ke topik lainnya dalam hitungan detik. Tentu saja ini mempengaruhi bagaimana otakku bekerja.
Beda ketika aku membaca artikel di Medium. Aku cukup membuka aplikasi, mencari tema tulisan yang aku ingin baca dan cukup membaca satu atau dua artikel. Sembari memperkaya kosakata Indonesia dan Inggrisku. Ya, aku juga membaca berbagai artikel para penulis luar, bahkan justru hal pertama yang menggerakkanku untuk mulai berlangganan member Medium adalah karena membaca cuplikan artikel penulis luar.
***
Di samping 3 poin positif tersebut, ada satu hal yang lumayan mengganjal ketika aku baru pertama bergabung ke Medium. Selain antusias menulisku meningkat pesat, ada perasaan gelisah yang muncul dalam diriku.
Ketika aku kembali membuka laptop dan bersiap menulis, pikiran ini tanpa kusadari muncul, “Pembaca kira-kira suka nggak ya?”
Berjam-jam, aku hanya duduk membisu, menatap kursor berkedip yang mungkin juga bosan menungguku mulai mengetik.
Apakah aku mengalami writers block? Aku yakin sekali ini bukan. Dalam otakku ada banyak sekali ide tulisan yang berseliweran. Kalau aku mau, aku bisa saja langsung ngetik dan membuat beberapa artikel sekaligus.
Hanya saja, pertanyaan tadi terus berulang di benakku.
“Apakah pembaca akan suka?”
Beberapa hari kemudian, aku tenggelam dalam kegalauan yang tak jelas. Aku ingin sekali menulis, tapi aku takut.
Aku takut tulisanku tak disukai.
Tunggu, geer sekali aku? Aku baru mulai menulis di platform ini, tapi rasanya aku adalah penulis terkenal yang kudu menghasilkan tulisan luar biasa dan memancing banyak tepuk tangan. Karena aku baru pertama kali melihat media menulis yang cukup ramai, aku merasa tulisanku akan cepat tersebar dan dibaca banyak orang langsung.
Padahal realitanya tak seperti itu. Medium memiliki algoritma juga sama seperti media sosial lainnya. Kita harus mencari cara bagaimana agar tulisan kita terangkat dan bisa memikat pembaca dalam sekelebat lirikan. Dan kalaupun kita sudah memikirkan pandangan orang lain terhadap tulisan kita duluan, lalu apa sebenarnya niat kita untuk menulis?
Apakah kita sekedar menulis untuk sekedar dibaca atau menulis untuk menyampaikan gagasan yang muncul di benak kita?
Pada akhirnya, ini cuma masalah niat.
Orang yang baru mulai ngonten dan langsung mengharapkan follower bejibun, endorsement dari mana-mana dan cuan yang menumpuk, aku jamin pasti dia tak akan konsisten dan berhasil. Karena pada dasarnya, niatnya sudah salah. Ketika ia tak mendapatkan hal yang ia ekspektasikan dalam waktu dekat, ia akan menyerah dan merasa dirinya sudah gagal.
Coba dari awal dia berniat, “Aku mau ngonten untuk belajar berbicara depan kamera, membagi opiniku dan bersosialisasi dengan banyak orang.” Aku jamin, insya Allah dia akan sukses di 5 tahun mendatang.
Orang yang baru mulai ngegym dan langsung berharap untuk mencapai body goals idamannya di minggu depan, pasti akan cepat bosan. Dan pada akhirnya, ia juga menyerah dan berkata, “Oh, sepertinya aku tidak bisa.” sambil berjalan meninggalkan dumbell 5 kilo yang baru ia pegang 3 kali.
Bagaimana jika niat awalnya diganti dengan, “Aku ingin hidup sehat dan menjadi lebih percaya diri di kemudian hari.” Mungkin, ia sudah menjadi sosok dengan badan ideal di 3 tahun mendatang.
Begitu pula dengan menulis.
Jika kamu mempublikasikan tulisanmu dengan niat mendapatkan ribuan pembaca, mendapat riuh tepuk tangan dari orang-orang dan menjadi penulis yang terkenal, ya kamu akan cepat bosan dan lebih mudah burnout.
Niatkan, “Aku menulis untuk meningkatkan skill menulis, juga menyampaikan cerita, gagasan dan pendapat pribadiku mengenai banyak hal.”
Insya Allah, kamu akan menikmati setiap prosesmu dan terus bergerak maju mau bagaimanapun badai yang menerjang.