Aku ingin mulai ngonten, tapi selalu berakhir overthinking dan berkali-kali gagal mulai. Aku yakin pasti diantara teman-teman pembaca juga relate dengan keadaanku sekarang.
Bagian 1: Aku (Tidak) Mulai Ngonten.
Kalau kamu sudah mengikutiku dari lama, kamu pasti tahu bahwa aku memiliki hobi di fotografi, spesifiknya street photography (fotografi jalanan). Dan aku tidak lebih cinta dari hobiku yang lain seperti aku mencintai fotografi.
Baca gratis di sini.
Ada banyak sekali cerita dan pelajaran yang aku dapat dari dua tahun pengalaman menjalani hobi ini. Mulai dari lika-liku izin ke bagian peralatan kantor (ya, kamera yang ku gunakan selama ini masih minjam), kemudian perjalanan menuju lokasi hunting yang luar biasa jauh, lalu berjalan kaki berkilo-kilo dengan mata fokus memperhatikan sekitar di bawah teriknya matahari. Belum lagi ketika aku harus menghadapi orang-orang yang tak terima difoto. Sepulang dari hunting (memburu foto), aku biasanya membawa 700 foto mentah yang kini harus kupilah kembali dan ku edit untuk menyempurnakannya. Seringkali aku melakukan pengeditan di waktu malam dan pasti berujung begadang hingga jam 3 dini hari. Lalu ditutup dengan aku mengunggah hasil fotonya di akun Instagram pribadiku.
Semua itu mungkin terdengar melelahkan, tapi justru aku merasa paling hidup ketika berada di momen-momen tersebut.
Suatu saat, aku terpikir, “Bagaimana kalau aku mulai ngonten berdasarkan pengalamanku di fotografi ini?”
Aku sudah sering berbagi cerita di blog pribadiku, Medium atau sekedar storygram yang mana semuanya berbentuk tulisan. Tapi kalau ngonten, dimana kita menggunakan suara dan wajah kita untuk bercerita di depan kamera? O la la, ini merupakan hal baru bagiku.
Mulailah aku riset kecil-kecilan, mencari inspirasi gaya storytelling dari para kreator yang lain, mencari berbagai tutorial seperti:
“Bagaimana cara menjadi konten kreator di Instagram”
“Bagaimana cara merekam dirimu di publik”
“Bagaimana cara menjadi storyteller yang baik”
Dan berbagai video tutorial lain yang berkaitan dengan pembuatan konten. Aku juga menjejali diriku dengan menonton banyak karya kreator kreatif lain yang rata-rata berkonsep sinematik di Instagram ataupun di TikTok, mencari konsep video yang mungkin cocok dengan diriku.
Setelah dua minggu hanya fokus riset dan mencari inspirasi, aku melempar hape ke kasur dan mengatakan kepada diriku, “Cukup, aku harus mulai sekarang.”
Aku segera menyiapkan ruanganku, mematikan lampu utama dan hanya menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan kesan sinematik. Aku siapkan handphone di hadapanku dan membuka kamera. Siap sudah.
Pada dasarnya, aku tinggal memencet tombol record dan mulai bicara, tapi ketika aku hendak mulai, Ada rasa ragu yang tiba-tiba muncul.
Apakah hasilnya nanti akan bagus? Apakah orang-orang akan suka? Apakah video dengan kualitas hape murah ini bakal bagus? Apakah kontenku akan mengundang banyak like? Apakah followerku akan langsung melunjak dengan konten ini?
Apakah, apakah, apakah?
Makin lama, pertanyaan pesimis dan keraguan itu makin memenuhi otakku dan pada akhirnya aku benar-benar tak jadi mulai.
“Kayaknya nggak sekarang dulu deh.”
Aku bangkit dari kursi dan meninggalkan kamar. Meskipun begitu, aku tetap berjanji, “Insya Allah, aku akan mulai ketika sudah punya alat yang mumpuni” sembari membayangkan sebuah Iphone 15 Promax di genggaman.
Niat untuk ngonten itu terlupakan selama beberapa waktu.
Bagian 2: Aku Iri Dengan Mereka.
Ada satu malam di mana aku sama sekali tak mengantuk dan tak bisa tidur sama sekali. Bahkan untuk memejamkan mata saja aku tak mampu. Mungkin karena aku ngopi malam-malam.
Sebenarnya ada banyak pilihan aktifitas bermanfaat yang bisa kulakukan untuk mengisi waktu luangku, tapi akhirnya aku tenggelam di layar handphoneku. Scrolling.
Di tengah scrolling, lewatlah satu reel dari seorang filmmaker muda bernama Galang Ganjar Kurniawan. Di situ, ia menunjukkan prestasinya di endorse berbagai brand dan industri kreatif. Kerennya, ia sudah sampai fase tersebut di umurnya yang masih 17 tahun. Luar biasa bukan?
Apakah aku iri? Tentu saja. Di umur semuda itu ia sudah cukup pantas untuk dibilang sukses menjadi konten kreator. Follower banyak, endorse banyak, duit masuk juga banyak. Padahal seingatku konten dia masih jelek dua tahun lalu (aku sudah mengikuti dia sejak awal dia mulai ngonten). Sedangkan aku? Hanya anak muda biasa yang suka menghirup kopi pahit tiga kali sehari. Tak punya prestasi apa-apa di media sosial.
Apakah aku ingin menjadi sukses seperti dia? Oh tentu saja, Bro! (membanting cangkir kopi). Tapi aku masih menunggu diriku siap untuk mulai.
Tunggu.
Apakah Galang juga menunggu dirinya siap terlebih dahulu ketika awal mulai ngonten? Penasaran, aku mengecek profilnya dan mencari postingan paling bawahnya. Terkejutlah aku ketika menemukan reel pertamanya sungguh sangat amat amat amat JUELEK dan jauh kualitasnya dibanding kontennya sekarang. Tapi justru di situlah aku mendapatkan pelajaran pertama:
Dalam hal apapun, sebuah “pertama kali” pasti akan dimulai dengan jelek, konyol, berantakan, susah payah, amburadul, dan seperti tahi, tapi justru inilah langkah paling berharga dan krusial dalam perjalanan kita.
Termasuk dalam hal ini: ngonten. Tak hanya Galang, kita bisa melihat contoh lainnya di para Youtuber terkenal seperti MiawAug, Windah Basudara, Gadgetin, Atta Halilintar dan lainnya. Coba cek video pertama mereka, aku yakin kamu akan muntah.
Contoh lain lagi, para orang terkaya di dunia seperti Mark Zuckerberg, Jeff bezos, Steve Jobs dan lainnya. Apakah mereka langsung memulai bisnisnya dari kantor supermewah lengkap dengan peralatan lengkap dan canggihnya? Tidak. Bahkan kebanyakan dari mereka merintis dari garasi rumahnya.
Menyadari hal ini, aku merenung.
“Memang, mungkin aku sudah terlalu menuntut diriku untuk sempurna, padahal memulai saja aku belum. Aku harus menurunkan standarku dan mengakui bahwa aku adalah seorang pemula.”
Alasan mengapa Galang sudah sukses sekarang adalah karena dua tahun lalu ia sudah memulai tanpa banyak alasan. Ia memulai saja dan menikmati prosesnya tanpa memikirkan apa-apa.
Apakah aku langsung mulai setelah mengatakan itu? Tidak (ngeselin ya?).
Bagian 3: Secuil Motivasi.
Beberapa waktu kemudian, aku kembali tak bisa tidur di malam hari, insomnia sialan itu kembali menggerogotiku. Tentu saja, aku tak akan kemana-mana selain mampir ke handphone. Setidaknya kali ini aku tak akan menghabiskan waktuku scrolling, aku membuka Youtube.
Tepat ketika aku membuka Youtube, sebuah video dari kanal bernama ‘Andrew’ muncul tepat sekali dengan keadaanku sekarang, seolah itu adalah pesan tidak langsung dari Tuhan.
Judulnya adalah “Start Before You’re Ready” yang berarti “mulailah sebelum kamu siap”. Cukup dari judulnya saja sudah sangat menyentil diriku sekarang.
Di video tersebut, Andrew menceritakan keadaan dirinya yang kurang lebih sama seperti diriku (dan mungkin keadaan teman-teman yang membaca ini juga).
Tentang keraguannya seperti, “Apakah aku akan memilih jalan yang benar?” Dan dia menjawabnya dengan,
“Instead of hoping you’re doing the right thing, make it the right thing.”
Dia juga menjelaskan poin yang juga sudah kutulis di atas tentang pahitnya memulai hal baru. Yang mana menegaskan kalau memang memulai hal baru tak akan semanis atau semulus itu. Bahwa setiap artis ataupun inventor tidak ada yang memulai perjalanannya dengan keyakinan 100 persen terhadap idenya. Meskipun mereka mengejarnya, mereka tetap menghadapi banyak keputusasaan dan kegalauan.
Namun, ada bagian yang benar-benar melengkapi sudut pandangku dan melengkapi motivasiku. Yaitu tentang membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Dia bilang, “I found myself comparing my day 1 to someone else’s day 1000, and I don’t think that’s very fair.” (Aku mendapati diriku membandingkan hari pertamaku dengan hari ke seribu orang lain, dan aku pikir itu tak begitu adil).
Ketika mendengar poin tersebut, aku menyadari bahwa salah satu faktor kenapa aku sudah menuntut diriku di awal dengan standar yang tinggi adalah karena aku sudah melihat karya orang yang lebih dahulu mendalami bidang tersebut.
memang betul. Kita seringkali tak sadar bahwa kita seringkali membandingkan diri kita dan orang lain dengan perbandingan yang sudah jelas tak masuk akal. Itulah sebabnya kita seringkali merasa mustahil dan berat ketika hendak menggapai sesuatu yang besar.
Dalam berbagai aspek kehidupan, semuanya berproses dan sifat dari proses tersebut adalah maraton, bukan sprint. Kita harus memulainya pelan-pelan namun konsisten. Langkah pertama akan terasa paling berat dan menyakitkan, tapi itulah langkah paling indah dalam perjalanan kita.
Seperti bayi yang baru mulai bisa berjalan. Langkahnya masih tak karuan, tapi mengundang haru luar biasa.
Sekarang apa? Tunggu apa lagi? Ayo, kita mulai perjuangan baru kita.
Tulisan ini juga sudah ditulis di blog Mediumku. Setiap tepukan (👏) dan komentarmu adalah bentuk apresiasi yang akan amat kuhargai dan menambah kobar semangatku.
Kalau kamu ingin mengobrol dan berkenalan denganku lebih dekat, kamu bisa sapa aku di akun instagram pribadiku. Jangan malu-malu! 😄