ziyad syaikhan

Cerpen: Anak Kecil yang Malang

Langit terlihat gelap, awan-awan kelabu bertumpuk di atas sana, angin yang berembus tak kencang, sepoi namun dingin sekali. Membuat padi-padi matang di ladang seolah berdansa cantik, bergoyang mengikuti tuntunan dari siulan Malaikat. 

Seorang anak kecil terduduk di sebuah gazebo yang terletak tepat di tengah Ladang, Wajahnya pucat, matanya merah namun hampa, bibirnya kering bergetar, sedangkan di pipi kanannya, terdapat sebuah memar bengkak yang membuat bentuk kepalanya semakin terlihat aneh. Di tangannya, ia menggenggam sebuah boneka monyet yang sudah lusuh dan buruk rupa. Ia menatap langit kosong, sembari membiarkan angin membuat tubuh kurusnya menggigil. 

Seekor burung gagak hadir di hadapan sang anak malang tersebut, turun entah dari sudut langit yang mana. Sang gagak menatap mata anak kecil tersebut yang bengkak sebelah. 

“Wahai, mengapa engkau bersemayam sendirian di tengah ladang sepi ini?” sang gagak bertanya, suaranya terdengar berat dan serak, sepertinya ia suka merokok. 

“Aku melarikan diri.” Sang anak menjawab lirih, suaranya bersaing dengan riuhnya angin dan ladang padi yang bergesekan.  

“Kenapa kau melarikan diri?”

“Aku dipukul.”

“Oleh siapa?”

“Oleh Bapak.”

“Tidak adakah yang melindungimu?”  

“Tidak ada.”

“Ke mana Ibumu?” 

“Ibu sudah lama mati”

“Mengapa?”

“Dipukul Bapak.” 

***

Hening, hanya terdengar suara angin yang kian mengganas. Langit semakin gelap dan dingin semakin menusuk. Sang gagak beradu pandang dengan sang anak kecil yang menggigil. 

“Mengapa bapakmu suka memukul?” tanya sang Gagak, memecah keheningan.

“Bapak suka berjudi. Seluruh harta-benda keluarga telah musnah untuk bertaruh, tapi ia selalu kalah dan menjadi gila karenanya.”

Angin bertiup semakin kencang.

“Mengapa bapakmu suka memukul?” tanya sang gagak, pertanyaannya masih sama.

“Bapak suka minum. Ia lebih senang menghabiskan uang untuk membeli alkohol daripada nasi. Tiap malam, kami harus menahan lapar dan menahan sakit karena dipukuli olehnya.” 

Hening. Sang Gagak terdiam, begitupula anak malang tersebut. Diliriknya boneka monyet buruk rupa yang digenggam oleh sang anak. 

“Siapa nama temanmu itu?” sang gagak menunjuk boneka dengan sayapnya. 

“Boni.”

“Nama yang bagus sekali. Maukah kamu membawanya ikut ke surga?” sang anak kecil mengangguk pelan. Sekejap, sang gagak berubah wujud, menjelma menjadi sosok besar berjubah hitam, wajahnya putih pucat mengerikan, namun berusaha tersenyum sehangat mungkin, meskipun itu malah membuatnya semakin mengerikan. 

“Siapa kamu?” 

“Aku adalah Maut.” jawab sosok tersebut. Ia menjulurkan tangannya, “Ayo, genggam tanganku, kamu tidak akan sengsara lagi setelah ini.” lanjut sang maut. Anak itu terlihat ragu, namun kemudian menuruti perintah sang Maut, menggenggam tangannya. 

Sang maut menarik anak kecil tersebut ke pelukannya, menutupinya dengan jubah hitamnya. “Apakah kamu masih merasa sakit dan kedinginan sekarang?” 

“Tidak.” jawab sang anak dari dalam jubah. 

“Itu karena kamu sudah menjadi malaikat sekarang. Ayo, kita pulang.”

“Ke mana?” 

“Surga.” jawab sang maut. Setelah itu nampak sang maut terbang dengan sang anak kecil, menghilang di antara awan kelabu yang bertumpuk di langit. Sementara jasadnya akhirnya bisa beristirahat dengan tenang di bawah atap Gazebo yang sebentar lagi akan runtuh diterpa badai. 

Sehan 2023 (Karya ini ditulis oleh penulis di Pondok Pesantren, di sela jam kosong).

Next Post

Leave a Reply

© 2025 ziyad syaikhan

Theme by Anders Norén