Dia Banyak Cerita Sama Aku, Pasti Dia Suka Sama Aku: POV Hidup di Era Generasi yang Gampang Baper

Belum lama, aku menuliskan artikel yang membahas kegemasanku mengamati fenomena musim cinta di kampus pada semester pertama. Di mana aku harus menikmati kopi di kantin sambil mengamati manusia-manusia di sekelilingku melayang dalam rasa suka dan cinta. Di situ, aku lebih fokus membahas mengenai untung-rugi dan esensi dalam meladeni cinta, suka dan pacaran. Saban hari, aku akhirnya menemukan salah satu sebab dari maraknya fenomena ini, terutama di zaman sekarang, di era gen-Z merajalela.

Semuanya bermula dari sekedar saling cerita, entah di chat atau realita sama saja, dan akhirnya lanjut dengan tumbuhnya akar rasa romansa di kedua belah pihak atau mungkin salah satu saja.

Saling berkode, saling gombal, saling mengucap sayang, dan saling bertukar mesra. Uniknya lagi, kebanyakan dari mereka sama sekali belum pacaran dan baru sampai sebatas TTM (Teman Tapi Mesra) atau HTS (Hubungan Tanpa Status), jujur, aku malu menyebutkan dua istilah omong kosong barusan. Biasanya interaksi mereka masih nanggung dan tidak sejelas orang berpacaran pada umumnya, masih kucing-kucingan, saling melempar teka-teki dan menantang untuk menebak apa maksud lontaran kalimatnya yang suka ambigu.

Kadang, beberapa dari mereka yang sedang dalam tahap PDKT mengampiriku dan bertanya tafsiran dari kode atau isyarat yang diberikan oleh gebetan mereka di chat.

“Eh, tadi si A ngomong blablabla ke aku, tapi aku gak tau itu bercanda atau nggak. Menurutmu sebagai laki-laki, maksud dari omongan dia itu apa? Dia ngode aku atau cuma jokes sih?”

“Tadi dia sempat ngirim reel ini-itu, dia mau menyampaikan apa sih dari situ, ngode atau nggak si?”

“Kalau dia udah cerita banyak tentang masalah keluarganya, kehidupan pribadi dan sebagainya ke aku, itu tandanya dia suka sama aku nggak sih?”

Oh, betapa malasnya aku menghadapi pertanyaan-pertanyaan tidak penting ini. Disuruh menafsirkan kode-kode asu yang tidak jelas maksudnya. Meskipun pada akhirnya aku tetap meladeni dan memberi pendapatku. Aku meladeni karena sekedar kepo dengan cerita mereka dan ingin menggali isi kepala mereka, bukan berarti mendukungnya.

Sering kali, aku menjawab pertanyaan mereka seperti ini:

“Mungkin saja segala cerita, sikap, dan segala bentuk kepercayaan dia untukmu ya hanya sekadar simbol kenyamanan dan kepercayaan. Sama sekali tak melibatkan perasaan suka atau cinta di dalamnya. Sama seperti ketika kamu nyaman dan mempercayai temanmu. Bedanya, ini dalam bentuk lawan jenis, karenanya kamu mempertanyakan apakah ini simbol suka atau tidak. Padahal ya nggak ada sangkut pautnya. Kamunya saja yang terlalu gampang baper dan mudah berkhayal ke mana-mana.”

Respon mereka? Ada yang setuju, ada yang sekedar manggut-manggut, ada yang terdiam, tidak setuju, tersinggung. Toh, ujungnya mereka tetap melanjutkan aktivitas mereka dan jawabanku hanya dianggap angin lalu.

Di sini, aku secara tidak langsung juga mengungkapkan betapa generasi saat ini sudah sangat, sangat, sangat kurang dalam masalah berpikir kritis dan introspeksi mengenai berbagai hal, termasuk soal perasaan dan emosinya.

Aku akui, kalangan generasi sekarang jauh lebih mudah terbuai oleh bias imajinasi mereka dan tenggelam dalam dramatisasi berlebihan yang mereka ciptakan sendiri tanpa mempertanyakan terlebih dahulu: Aku kenapa sih? Apa sih yang sedang aku rasakan? Fenomena apa sih yang sedang melandaku? Apakah emosi ini benar-benar tulus atau sudah terkontaminasi khayalanku?

Tidak ada upaya untuk menggali lebih dalam. Yang ada hanya keinginan untuk segera mendapat validasi atas perasaan yang bahkan mereka sendiri belum benar-benar pahami. Seolah-olah hidup ini adalah drama Korea yang harus penuh dengan momen-momen penuh makna, padahal kadang seseorang memang hanya ingin berbagi cerita. Titik. Tidak ada kode tersirat, tidak ada pesan tersembunyi.

Jadi, di tengah kehebohan musim cinta kampus yang penuh kode dan tanda tanya, aku memilih untuk tetap di posisiku: menikmati kopi, mengamati dengan takzim seraya sesekali menjadi konsultan cinta yang enggan . Berharap suatu hari nanti mereka belajar untuk lebih jujur, baik pada diri sendiri maupun pada orang yang mereka sukai.

Karena sejujurnya, mengatakan “Aku suka kamu” jauh lebih sederhana daripada saling mengirim 47 reel Instagram sambil berharap dia bisa menebak dan mengerti maksudmu dengan tepat.

Lagian, kenapa, sih, sibuk banget mejalani hal-hal beginian? Apa tidak ada hal lain yang jauh lebih bermakna untuk diselami dan dijalani. Masa muda tak lewat dua kali. Jangan habiskan waktumu dalam persoalan-persoalan yang tak jelas jawaban dan ujungnya.

Nanti ada masanya juga kita akan menikah.

Santai saja, yang menulis artikel ini juga pemuda kesepian dan juga sudah sering jatuh cinta. Hanya saja, porsi logika yang Tuhan berikan kepadaku mungkin agak lebih tebal dari yang lain.

Aminkan, dong. Aku bisa mendengar “tcihh” mu di sana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *