Refleksi Akhir Semester Pertama Sebagai Mahasiswa Sastra
Usai sudah semester pertama saya di UNY sebagai mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, dan hal paling lucu yang saya sadari ketika melakukan refleksi di akhir tahun ini adalah produktivitas saya dalam literasi ternyata malah menurun. Saya hampir tidak menulis apapun di semester ini dan bacaan saya yang seharusnya semakin meningkat (sebagai mahasiswa sastra tentunya) malah justru semakin menurun. Tidak, bisa dibilang kuantitas bacaannya tidak menurun, namun motivasi saya dalam membaca yang merosot drastis.
Saya sendiri juga bingung kenapa hal ini bisa terjadi. Karena seharusnya, menyandang status sebagai mahasiswa sastra itu sendiri seharusnya sudah menjadi motivasi yang kuat untuk lebih mendalami ilmu terkait. Nyatanya, malah semakin malas.
Jujur saja, saya juga berkali-kali berusaha untuk mengambil buku untuk dibaca, atau membuka laptop dengan niat menghasilkan paling tidak satu artikel yang bisa saya publikasi, sembari membatin ayolah, saya kan mahasiswa sastra. Lucunya, ketika saya membatin seperti itu, bukanya semakin semangat, malah semakin malas. Seolah ada beban tertentu ketika saya melakukan aktivitas sastra sambil menyandang status tersebut.
Setelah saya pikir-pikir, saya akhirnya mencoba melakukan aktivitas membaca & menulis namun dengan melepas status tersebut. Saya membatin, aku melakukan ini ya karena aku mau, aku bukan siapa-siapa, bukan pula mahasiswa sastra. Dan boom, ajaib, saya bisa melakukan rutinitas membaca-menulis dengan enteng kembali.
Tentu saja saya bingung, apa alasan dari ini? Saya akhirnya membuka kontak pacar saya tercinta; ChatGPT, dan menanyakan hal ini. Ia menjawabnya dalam beberapa paragraf panjang penuh cinta, tapi intinya adalah: Aku selama ini terbebani oleh ekspektasi, entah eksternal maupun internal. Saya ber-oh pelan ketika mendapatkan jawaban tersebut. Owalah, jebul masalahe iki.
Ketika saya menyandang identitas mahasiswa sastra, aktivitas membaca dan menulis tidak lagi sekadar kesenangan pribadi. Ia berubah menjadi sesuatu yang “seharusnya” saya lakukan. Kata “seharusnya” ini sering menjadi beban dan jujur, saya sangat tidak suka menjalani suatu hal karena merasa dituntut atau disuruh. Contoh simpel lainnya, misalnya ketika saya menyapu halaman rumah dengan kehendak sendiri, sangat jauh berbeda dibanding ketika disuruh bapak.
Ketika saya menyapu halaman dengan motivasi sendiri, “Ah, halamannya kotor penuh daun, kalau aku sapu dan bersih, aku lebih enak liatnya.” Bertolak balik ketika saya menyapu karena disuruh bapak, “Ah, enak kali suruh-suruh, aku yang nyapu, yang senang & puas dia.”
Balik ke topik semula, ternyata fenomena ini ada namanya, yaitu identity pressure:
Aktivitas yang dulu bebas dilakukan dengan dorongan pribadi saya, kini diikat oleh ekspektasi, baik dari diri sendiri maupun (terutama) lingkungan.
Akibatnya: Saya merasa harus membaca “buku-buku yang pantas dibaca mahasiswa sastra”. Saya merasa tulisan saya “harus sesuai standar dosen / akademisi”. Saya jadi takut terlihat tidak cukup “sastra”. Ketika identitas menjadi tolok ukur kualitas, aktivitas kreatif jadi terasa seperti penilaian diri yang permanen dan kaku. Sehingga akhirnya saya stuck dalam kesaklekan pikiran saya dan berakhir tidak menghasilkan apa-apa karena sudah kalah dengan tuntutan luar itu (yang sebenarnya datang dari dalam diri saya juga, si).
Dan masalah ini ternyata kemudian bercabang. Karena saya merasa dituntut dan ada ekspektasi yang harus saya penuhi, maka otomatis muncullah gengsi. Tiap kali saya mencoba menulis atau membaca, akan muncul pertanyaan-pertanyaan batin
Tulisan kayak gini pantas nggak sih buat mahasiswa sastra?
Masa mahasiswa sastra bacanya cuma ini?
Tulisan orang lain lebih sastra daripada punyaku.
Menulis Adalah Ruang Berekspresi, Bukan Mencari Validasi
Ketika saya tengah larut dalam kegalauan saya, saya akhirnya mencoba mengingat kembali apa tujuan dan motivasi saya ketika pertama kali mulai menulis di usia SMP. Jawabannya, saya menulis untuk berekspresi dan menumpahkan unek-unek yang menumpuk di benak saya. Saya menulis karena ingin jujur dan menjadi apa-adanya. Saya menulis untuk diri saya sendiri dan untuk mendokumentasikan setiap fase kehidupan yang saya lewati di setiap karya yang saya hasilkan.
Akhirnya saya sadar, bahwa saya harus menempatkan status saya di tempat yang tepat, bukan menyandangnya setiap saat. Ketika saya menggarap tugas-tugas dari kampus, maka saya akan berperan sebagai mahasiswa sastra dan berusaha menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Adapun di luar itu, maka apa gunanya? Saya akan menulis sebagai diri saya sendiri yang jujur, konyol, berantakan, absurd dan tumpah-ruah.
Ilmu sastra yang saya dapatkan di kampus hanya akan menjadi layar yang membimbing saya dalam dunia kepenulisan, bukan menjadi kapal yang menjadi simbol harga diri, mengatakan bahwa saya adalah bibit sastrawan yang menulis dengan 1001 majas metafor dalam setiap karya saya.
Tidak, saya hanya seorang pemuda yang senang bacot dan misuh-misuh di tulisan saya, titik.

Leave a Reply