Belum lama, aku adalah santri dari pondok pesantren Hamalatul Quran. Sebuah pondok yang menjadi idaman sebagian besar orang yang ingin dirinya atau anaknya menjadi penghafal quran di dalamnya.
Aku pun awalnya merasa sangat senang dan bangga ketika berhasil diterima di dalamnya. Bukan main biaya dan usaha yang aku dan orang tuaku korbankan.
Setengah tahun, satu tahun aku jalani tanpa masalah. Ketika liburan semester tiba, aku kembali pulang ke rumah. Bertemu kembali dengan keluarga dan menjalani liburan seperti anak-anak lainnya.
Rampung liburan, aku kembali ke pondok. Qodarullah, aku ternyata langsung sakit cacar setelah seminggu di ma’had. Maklum, aku tertular dari adikku yang memang juga sakit cacar selama liburan.
Pada akhirnya, aku terpaksa pulang ke rumah. Hingga dua minggu lamanya aku di rumah. Sembuh, kembali ke pondok. Momen itu, aku sudah menyiapkan banyak sekali rencana untuk berubah menjadi lebih baik di pondok. Aku sudah membayangkan momen-momen yang akan terjadi dua tahun ke depan di pondok itu.
Tasmi’ Kamil 30 juz, lomba al-quran, menjadi Jum’iyyah (osis) bersama kawan-kawan, berkarya sana-sini, menjadi pengabdian dan pada akhirnya lulus dengan dada yang hangat menyimpan kenangan itu.
Tapi semua khayalanku itu tiba-tiba dihancurkan hanya dengan satu panggilan telepon. Hari Sabtu malam, ketika jadwal para santri nonton bersama. Aku sedang duduk bersama dengan yang lain, menunggu para osis menyiapkan proyektor film. Salah seorang kakak kelas tiba-tiba memanggilku, “Ustadz Daffa manggil, Yad.”
Aku tak berpikir apa-apa. Karena yang ada dalam benakku, “Ah, seblaknya udah dateng ya?” Memang aku lagi mesan seblak saat itu. Ketika sampai di hadapan ustadz Daffa, ia malah memberikanku handphonenya. Ketika aku lihat wajahnya, mata sipitnya tak menunjukkan emosi apapun. Dari sini, perasaanku mulai tak enak. “Ah, pasti orang tuaku mau nelpon ini. Ada apa?”
Aku klik tombol telepon. Tak lama, orang tuaku langsung menjawab. Kalimat yang pertama ku dengar setelah salam adalah, “Ziyad, Abi mau ngomong. Jauh-jauh dari yang lain.” Dalam hatiku, langsung ‘Mak Dess.’ Udah, kalau openingnya seperti itu, ini kabar buruk. Karena opening seperti itu hanya bapakku gunakan ketika ada suatu masalah besar. Aku cuman pasrah, tetap menyimak.
Ketika aku masih menyiapkan mental buat mendengar, bapakku langsung bicara, “Ziyad, Umi sama Abi ada rencana buat mengeluarkan Ziyad dari pondok.”
Duaar!
Meledak sudah. Aku sama sekali tak menyangka itu. Dalam otakku, semuanya tercampur aduk.
“Hah, keluar ma’had. Kok bisa? Kenapa? Apa alasannya? Kok tiba-tiba? Aku baru dateng ke mahad tiga hari lho? Kok jadi begini? Apa salahku? Apa yang salah, di mana salahnya?”
Pokoknya ribet. Langsung nggak bisa mikir. Ini benar-benar di luar prediksiku. Tanganku yang memegang handphone turun. Aku tarik nafas dulu. Kembali menyimak.
Kemudian orangtuaku mengutarakan berbagai alasannya dan rencana mereka untukku ke depannya. Lama sekali aku menelpon, aku hanya bisa mengangguk dan mengiyakan semua perkataan orang tuaku. Semua perkataan mereka logis dan tak bisa ditolak. Mereka sungguh sudah menyiapkan semuanya dengan matang.
Keputusan bulat, aku akan dikeluarkan. Malam itu juga (yang kebetulan aku lagi jadwal masak) langsung memanggil semua kawan dekatku. Aku kabari mereka situasi yang sedang terjadi. Reaksi mereka macam-macam. Intinya sama; Kaget.
Ada yang melongo, mangap, terpaku sebentar. Semuanya gak nyangka sama sekali. Mau bagaimana lagi, sekali orang tuaku memutuskan, maka nasi sudah jadi bubur. Aku menjalani hari-hari terakhirku di mahad 4 hari kemudian.
Tak mudah, semuanya terasa sulit. Alhamdulillah, kami bisa melewatinya. Malam terakhir, aku mengobrol dengan salah satu kawanku, Salman hingga jam setengah sebelas. Banyak sekali poin penting di salah satu obrolan kita.
“Gak ada yang tahu jalan hidup kita bakal kayak apa. Tapi mau bagaimanapun jalan hidup kita, selama kita sama-sama berjuang buat meraih kebaikan, maka gak ada masalah. Yang kita harus lakukan hanyalah berusaha yang terbaik dan menerima segalanya.”
Dari perbincangan itu, kami juga makin sadar. Semuanya di dunia ini gak ada yang ‘abadi.’ Termasuk konteksnya di sini adalah teman. Nggak ada teman yang bakal nemplok bakal sama kita terus, dari kecil sampe mati. Nggak ada kecuali beberapa dan sangat jarang.
Hidup kita terbagi menjadi beberapa fase dan selama itu, kita akan bertemu dengan berbagai orang dan berpisah pula.
Aku pernah membaca salah satu artikel, pada intinya, ketika kita sedang dalam perjalanan menuju kesuksesan, maka salah satu hal yang kita harus korbankan adalah kawan-kawan kita.
Karena kadang, tanpa kita sadari, salah satu penahan langkah kita untuk maju juga berasal dari kawan.
Makanya dalam islam, kita dianjurkan untuk sangat memilih dalam masalah berteman. Seperti dalam hadits nabi yang masyhur.
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “مَثَلُ الجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالسَّوْءِ، كَحَامِلِ المِسْكِ وَنَافِخِ الكِيرِ، فَحَامِلُ المِسْكِ: إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخُ الكِيرِ: إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ، وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً “
- “Perumpamaan kawan yang baik dan kawan yang buruk seperti seorang penjual minyak wangi dan seorang peniup alat untuk menyalakan api (pandai besi). Adapun penjual minyak wangi, mungkin dia akan memberikan hadiah kepadamu, atau engkau membeli darinya, atau engkau mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, mungkin dia akan membakar pakaianmu, atau engkau mendapatkan bau yang buruk”.[HR. Bukhari dan Muslim]
Salah satu kalimat yang aku ingat dari Salman saat itu, “Nggak papa, Yad. Kita pisah sekarang nggak masalah, yang penting kita tetap bakal jadi teman dan suatu saat kita bakal ketemu lagi dengan versi terbaik kita di tempat yang lain.”
Wah, keren sekali. Aku terhibur dengan kata-katanya. Besoknya, ketika waktu maghrib tiba, aku sudah dijemput dan sempat menyampaikan perpisahan kepada kawan-kawan dan berfoto.
Ketika sampai di rumah, aku resmi kembali menjadi penduduk tetap dan harus siap menjalankan semua kewajiban yang orang tuaku beri kepadaku. Berbagai pekerjaan rumah ditanggungkan kepadaku.
Juga tugas belajar yang sekarang sudah berbeda dan butuh kemandirian lebih. Bapakku yang paling banyak memberiku tugas mencatat pelajaran agama. Terutama dalam masalah bahasa Arab.
Beberapa bulan berlalu, kini aku sudah menjalani setoran online dengan salah satu syaikh pemegang sanad qiroah terbanyak dari Al-Jazair. Beliau adalah Syaikh Abdurrazaq Lembarky.
Pula, aku sudah mulai menjalani kuliah jurusan bahasa Arab di Ma’had Ali bin Abi Thalib Yogyakarta, UMY. Dengan umurku yang masih 16 tahun ini.
Jalan yang tak disangka. Begitulah rencana Tuhan; nggak ada yang tahu. Tapi percayalah, jalan pemberian-Nya adalah yang terbaik bagimu, meski seburuk apapun itu di matamu.
Semoga Allah mudahkan urusanku dan urusan kita semua.