Bagian 1: Aku, Insomnia dan Overthinking.
Semasa kecil, aku memiliki masalah tidur.
Ketika seluruh keluargaku sudah lama terlelap, aku selalu jadi anomali yang masih melek di malam hari. Aku bisa begadang sampai jam 3 dini hari atau bahkan nggak tidur sama sekali. Alasannya ketika itu kerjaanku tiap malam ngayal. Sesimpel itu. Hobi sekali aku menciptakan skenario-skenario keren waktu itu.
Semakin dewasa, tentu saja isi otakku ikut berubah. Hilang sudah khayalan menjadi ninja dan transformer. Isi otakku sekarang adalah rencana, kecemasan, ketakutan, ide-ide spontan, petuah dari orangtua dan berbagai penyesalan dari masa lalu. Ramai dan berbelit dalam rongga otakku.
Awalnya aku berusaha nyaman dengan kusutnya isi kepalaku. Namun semakin lama aku membiarkan pikiranku tak terolah dan mengendap, semakin berbelit-belit isi otakku. Aku menjadi semakin susah tidur, makin sulit untuk konsentrasi dan selalu linglung.
Kemudian di suatu momen aku sadar kalau siklus ini harus dihentikan. Aku nggak bisa seperti ini terus.
Aku sadar kalau semua pikiran yang ada di benakku nggak bisa diterima mentah-mentah, semua pikiranku ini harus diolah terlebih dahulu. Karena pastinya ada di antara kecemasanku yang sebenarnya hanya pesimisme tak berdasar, atau ada rencana dan cita-cita yang tak sesuai realita, atau ada penyesalan kecil yang sebenarnya bukan masalah besar dan sebagainya. Maka satu-satunya cara untuk menyaring dan menatanya adalah dengan mencatat.
Aku mulai mencoba beberapa cara untuk mengelola dan mencatat pikiranku.
Awalnya aku mencoba untuk memanfaatkan aplikasi google keep atau google docs untuk menulis apapun yang muncul di kepalaku. Aku berusaha membuat aplikasi itu adalah aplikasi pertama yang muncul di layarku dan mudah untuk mengaksesnya dengan cepat. Sehingga ketika aku ingin menulis pikiranku, aku bisa segera membukanya dan mengetik.
Setelah aku bertahan dengan cara ini selama beberapa minggu, aku menyerah. Cara ini kurang efektif dan tidak enak. Karena aku harus membuka hapeku yang penuh dengan berbagai distraksi dari notifikasi, sosial media dan lainnya yang membuat aku nggak bisa fokus ketika menulis. Aku nggak bisa menuang pikiranku di situ secara sempurna. Kedua, aku merasa mengetik dengan jari di hape menjadi sangat tidak enak ketika kita sedang menulis sesuatu yang berat dan pastinya panjang. Jari kita dah pegel duluan, sedangkan pikiran kita belum sepenuhnya ditulis. Tapi ujungnya kita jadi setengah-setengah dan enggan. Sehingga tujuan mengolah pikiran itu nggak tercapai.
Kemudian aku mencoba untuk menulis tangan di buku. Aku mulai merasa enak. Sensasi menulis tangan itu jauh lebih enak dari mengetik di hape atau di laptop. Karena di situ aku bisa khusyuk dan fokus dengan pikiran apa yang aku ingin tuang tanpa distraksi apapun. Aku bisa memeras habis semua pikiran yang memenuhi otakku.
Tapi ada satu minus yang membuat aku akhirnya capek dengan metode ini: Nggak praktis. Buku yang aku pake ketika menulis waktu itu adalah buku catatan yang ukurannya nggak memungkinkan aku masukkan kantong. Sehingga setiap kali aku ingin keluar rumah dan membawa buku catatan, otomatis aku harus membawa tas slempang dan aku merasa ini cukup mengganggu.
Akhirnya aku sampai pada poin terakhir. Aku mencoba memakai notes sebagai opsi terakhir dan aku merasa ini adalah opsi yang tepat. Dia kecil, praktis, bisa di bawa kemana-mana dan kita bisa menulis tangan dengan cepat dan ringkas di situ. Ini yang aku cari selama ini.
Sekarang, aku selalu membawa buku notes kemanapun itu. Bahkan ketika aku merasa pikiranku kosong pun aku tetap akan membawanya, karena aku nggak tahu ide apa yang akan muncul di benakku?
Bagian 2: Menjepret Ide
Di antara puluhan cabang bidang fotografi, ada satu cabang yang aku anggap paling berbeda: Street photography.
Satu hal yang membuat bidang ini spesial adalah ia mengabadikan momen-momen spontan yang biasanya tak akan terjadi dua kali. Cara untuk menguasai bidang ini dengan baik adalah dengan belajar mengamati sekitar dengan jeli, belajar untuk menyadari dan peka dengan situasi, belajar melawan rasa takut untuk mengangkat kamera untuk menjepret subjek (karena umumnya subjek dalam street photography adalah manusia) dan belajar untuk mengontrol diri dari egois dalam mencari subjek atau lokasi unik.
Dalam masalah mengelola pikiran ini, aku nggak hanya mengatakan cara menuang pikiran negatif dan keresahan ke dalam buku saja. Ketika semua kertas di bukumu hanya berisi keluh kesah dan cerita, buku notesmu nggak ada bedanya dengan buku diary. Gunakan juga notesmu untuk mencatat ide yang muncul dalam benak.
Salah satu sifat dari sebuah ide adalah dia selalu muncul secara spontan dan jika ia tak segera dicatat, kemungkinan kita melupakannya sangatlah besar. Sama seperti momen berharga, ketika kita tak segera memotret dan hanya memandangnya, maka momen itu akan segera berlalu.
Maka bagaimana kita bisa menjadi seorang pencatat ide yang baik? Sama halnya seperti menjadi fotografer jalanan namun dalam konteks otak. Kamu harus belajar untuk mengamati isi benakmu dengan jeli, belajar untuk menyadari dan peka dengan keadaan emosimu dan belajar melawan rasa malas untuk mencatat idemu (menjepretnya).
Banyak sekali temenku yang selalu mengeluh tentang overthinking dan kecemasan mereka (terutama perempuan) dan aku selalu meminta mereka untuk menuliskannya seperti yang aku sudah jelaskan di atas.
Tololnya mereka adalah mereka tak melaksanakan apa yang aku sarankan kepada mereka. Ketika aku bertemu lagi dengan mereka, mereka kembali mengeluhkan hal yang sama. Aku selalu akan memberi saran yang sama dan ujungnya hanya sedikit dari mereka yang menerapkan saranku. Sedangkan sisanya yang tak pernah melaksanakan saranku?
Wallahu a’lam.
Bagian 3: Bagaimana menjadi pemikir dan pencatat yang baik?
Poin-poin besar sudah ku jelaskan di atas, tapi kita akan bahas lebih spesifik lagi di sini. Sebelum kita menuangkan apa yang kita pikirkan ke dalam catatan, tentunya kita harus mengetahui dengan baik apa yang sedang kita pikirkan. Sehingga sebelum menulis pun kita sudah harus menata pikiran terlebih dahulu.
Carilah tempat sepi yang bisa membuatmu berpikir dengan tenang dan nyaman. Tentu saja setelah kamu menyiapkan buku notes di sisimu.
Kemudian kamu coba tanyakan kepada dirimu beberapa tahap pertanyaan ini:
1. Aku sedang memikirkan apa saja akhir-akhir ini?
Lalu tulis jawabannya dalam bentuk poin-poin singkat.
Contohnya: Akhir pekan ini aku sedang banyak memikirkan masalah:
- Rencana kuliahku kedepannya
- Ketakutanku gagal di rencana-rencanaku
- Nyesel karena aku merasa omonganku di percakapanku minggu lalu perasaan menyinggung temen
- Ide berkarya di IG
Selesai kita menulis poin garis besar ini, secara tidak langsung kita sedang membuat daftar isi untuk tulisan kita selanjutnya. Lalu apa? Kita bahas satu-persatu poin yang sudah kita tulis dalam paragraf yang lebih detail. Misalnya, di poin pertama aku memikirkan rencana kuliah, maka aku akan menulis semua planningku dengan detail. Untuk menulis rencana ini, aku membuat tiga pertanyaan:
- Aku harus mempersiapkan apa untuk rencana ini?
- Apa rencana B, C, D yang harus ku persiapkan juga?
- Berapa lama aku harus fokus kepada rencana ini?
Dari 3 pertanyaan ini, kita bisa menulis berbagai paragraf detail jawaban kita untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Selesai poin pertama, aku akan lanjut ke poin kedua dan ketiga.
Di poin kedua dan ketiga itu adalah contoh poin pesimisme yang biasanya paling nggak penting tapi paling membebani pikiran. Inilah sumber utama penyakit overthinking itu. Bagaimana caraku menghilangkan poin tak berguna seperti ini? Aku akan bertanya lagi kepada diriku sendiri:
2. Apakah hal ini memang pasti terjadi atau cuma imajinasiku saja?
Seringkali jawaban dari pertanyaan ini adalah semua pikiran negatif ini ya hanya imajinasiku saja. Semua kecemasan yang membuatku terbebani ya hanya berasal dari diriku sendiri. Dunia nggak akan sejahat dan sebenci itu dengan kita. Jadi fungsi kita menulis poin ini di sini hanyalah untuk membantu kita berpikir logis dan membuang semua pikiran negatif itu.
Selesai masalah.
Di poin keempat, aku mencontohkan poin ide. Ini adalah poin paling simpel dan paling singkat biasanya, karena fungsi aku menulis poin ini biasanya hanya untuk membantuku mengingat ide-ide yang ada di kepalaku. Karena cara untuk kita menyelesaikan poin ide ini adalah dengan mengeksekusinya dengan aksi. Nggak butuh tulisan panjang lebar lagi.
***
Pada akhirnya, poin utamaku di artikel ini adalah selalu tulis apa yang ada di pikiranmu dan jangan enggan atau malas untuk melakukannya.
Bagian tentang cara menjadi pemikir dan penulis yang baik itu hanya sedikit caraku untuk membantu mengolah pikiranku saja. Sedangkan pada ujungnya, kita akan kembali pada cara masing-masing. Tulislah apapun yang kamu suka. Kertas notesmu bukan sosmed yang bisa dilihat orang lain. Kamu bisa jadi dirimu sendiri di atas kertas itu, ekspresikan semuanya dengan bebas, tak usah takut ada yang mengejekmu atau protes terhadap tulisanmu.
Pada dasarnya isi buku notesmu adalah privasi dan hanya kamu yang boleh membukanya. Karena isinya memang hanya untukmu saja.