Bagian 1: Fenomena candu sosial media
Kita sekarang hidup di era media sosial dan mungkin kita sudah mencapai puncak seluruh umat manusia mencandu dan mendewakan gawainya, setiap hari, setiap jam dan setiap detik. Cobalah kamu jalan keluar rumah dan lihat satu persatu manusia yang kamu lewati. Tengok tangan mereka, mereka sedang menggenggam handphonenya. Atau tengoklah mereka yang sedang duduk di dalam kafe-kafe, tengah menatap apakah matanya? Entah laptop atau tabletnya. Pada dasarnya, mereka satu: Mereka tak melihat yang lain selain sebuah layar di mana dia “bisa melakukan apa saja” di dalamnya.
Aku tak akan berkomentar terhadap mereka yang menggunakan semua gadget itu untuk bekerja dan berkarya, mereka adalah pengecualian. Yang aku bahas di sini adalah mereka para pecandu sosial media, para orang yang “selalu update” dan tak pernah ketinggalan satu informasi pun dari sosmed itu. Jikalau andaikan ada satu kabar berita atau trend yang luput dari pengetahuan mereka, mereka akan panik dan segera mencari tahu. Mereka sudah tenggelam dalam candu dengan sosial media. Dan yang membuat informasi ini tambah menarik adalah rata-rata dari mereka adalah anak muda.
Dari fenomena ini, aku jadi ingat salah satu perkataan seorang atlet, motivator dan seorang penulis fenomenal bernama David Goggin. Di salah satu sebuah interviewnya bersama Chris Williamson, dia mengatakan,
“I know there so many people that have the ability and just refuse to get off that couch, refuse to study more hours, refuse to go deeper, refuse to go further and that’s were i gained my advantage. It’s so easy to be great nowadays, my friend. because most people are weak.”
Perkataan dia adalah benar dan nggak akan bisa dipungkiri. Karena seperti yang aku singgung tadi, kita hidup di zaman di mana hampir 99 persen manusia sekarang tercandu dengan sosial medianya. Mereka selalu mengikuti tren-tren yang bermunculan, mereka banyak menelan informasi yang tak diperlukan dari doomscrolling mereka selama berjam-jam, mereka banyak menelan standar-standar mentah tak berdasar ilmu darinya. Pada dasarnya, mereka terjebak dalam sebuah lingkaran setan dan mereka tak menyadarinya.
Maka ketika kita di sini masih dalam sadar, kita masih bisa melihat dan kita tahu bahwa kita tak boleh terjebak dalam lingkaran setan itu, maka bukankah harusnya kita sadar ini kesempatan kita untuk menjadi lebih baik daripada mereka semua? Bukankah ini kesempatan kita untuk menjadi berbeda dan spesial?
Nah, salah satu sarana meningkatkan value kita di situasi saat ini (dan ini adalah yang termudah dan tersimpel) adalah dengan banyak membaca buku. Sangat simpel dan sangat mudah, semua orang tahu manfaatnya, semua orang tahu bahwa ini adalah hal positif, tapi tak semua orang akan mau melakukannya.
Aku sebenarnya bingung mau menjelaskan betapa aktifitas ini sangat simpel dalam penerapannya tapi luar biasa dari buah yang akan dihasilkannya. Karena buku tak akan bisa dibandingkan dengan internet dan media sosial.
Keduanya sama-sama sumber informasi. Kita sama-sama “melihat dunia” dari mereka. Bedanya, internet tak memiliki filter dan tak jelas sumbernya. Semua orang dari seluruh kalangan bisa mencari tahu dan menemukan apapun yang ingin mereka cari atau bahkan tak mereka cari. Dan dalam satu kali search, kita bisa langsung disuguhi puluhan artikel terkait yang kita tak tahu mana yang benar mana yang salah. Mana yang hoaks, mana yang fakta.
Begitu pula dalam algoritma instagram misalnya, semua yang mereka suguhi di feed dan rekomendasi adalah hal-hal yang memang kita sering berinteraksi dengannya. Sehingga yang kita lihat hanyalah dari ruang lingkup yang itu-itu saja.
Sedangkan buku, dia berasal dari satu sumber yaitu penulisnya. Dan kita tak akan menemukan hal lain selain tema yang dibahas olehnya. Ketika kita membaca buku tentang psikologi, maka isi buku tersebut hanyalah pembahasan mengenai psikologi dari awal sampai akhir dan tak yang lain. Begitu pula buku-buku lainnya, mereka hanya membahas satu tema secara mendalam.
Dan dalam penyusunan sebuah buku, kita tahu kalau ada riset mendalam di baliknya, ada pengalaman bertahun-tahun sang penulis dalam bidang itu, ada revisi berulang-ulang dalam penyusunannya. Maka dari situ kita bisa menyimpulkan bahwa lembaran informasi yang saat ini kita baca bukanlah hasil dari main-main atau iseng. Informasi yang kita baca adalah valid dan murni ilmu yang insya Allah bisa diterima dan diterapkan.
Cukup satu poin ini saja sudah bisa menjelaskan betapa informasi dari buku dan internet bukanlah hal yang bisa di bandingkan secara apple to apple.
Bagian 2 : Bagaimana cara berubah dari Scroller menjadi Reader?
Di zaman dahulu, ketika ponsel masih belum ditemukan. Semua orang adalah pembaca. Tak ada hiburan lain untuk mereka selain membaca buku atau koran miliknya. Karena mereka adalah pembaca yang baik, otomatis beberapa dari mereka menjadi penulis yang baik pula. Meskipun maksud mereka membaca sekadar menghibur diri ketika itu, tapi ini adalah hiburan yang baik dan mendidik. Sehingga kita bisa melihat sendiri pada zaman dahulu, anak kecil pun sudah bisa berbicara dengan wawasan tinggi yang tak mungkin wawasan itu didapat dengan modal scrolling berjam-jam di sosial media.
Maka bisa aku bilang di sini, hanya dengan menjadi pembaca buku yang baik, kamu bisa menjadi orang yang lebih baik 80 persen dari rata-rata orang di sekitarmu. Buku adalah kekuatan yang orang seringkali remehkan. Dan ini pada dasarnya sangat gampang, mudah dan easy.
Tapi itu menjadi beda cerita di era kita saat ini. Di mana semua orang lebih memilih untuk menatap ponselnya dan menscroll sosial medianya berjam-jam. semua orang terjebak disebabkan oleh fenomena FOMO (Fear of Missing Out). Sehingga ketika ia tak mengecek ponselnya sehari saja, ia merasa takut kehilangan atau ketinggalan terhadap sesuatu yang sebenarnya hanya ada di imajinasinya.
Aku yakin kita pernah menjadi salah satu dari mereka, terjebak dalam kubangan ketakutan dan teror dari sosial media yang tak pernah berujung ini. Dan ketika kita hendak mengalihkan kebiasaan kita dari scrolling ke membaca akan menjadi sebuah transisi yang tak akan mudah.
Karena efek dari sosial media itu tak beda jauh dari narkoba. Kita bisa merasakan sakaw ketika kita dijauhkan dari ponsel kita dan dipaksa untuk melakukan hal produktif.
Lalu bagaimana caranya kita bisa bertransisi dari The Scroller menjadi The Reader?
James Clear sudah menjelaskan dengan baik dalam bukunya “Atomic Habits” tentang kaedah mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik dan sebaliknya. Di sana, ia membaginya dalam beberapa poin.
Rumus membongkar kebiasaan buruk:
- Hukum pertama (Petunjuk) : Menjadikannya tak terlihat
- Hukum kedua (Gairah) : Menjadikannya tak menarik
- Hukum ketiga (Tanggapan) : Menjadikannya sulit
- Hukum keempat (Ganjaran) : Menjadikannya mengecewakan.
Lalu bagaimana kita menerapkan 4 poin ini dalam kasus kita (dari scrolling sosial media menjadi membaca buku)? Berikut adalah contoh-contoh penerapannya:
1. Hukum Pertama (Petunjuk): Menjadikannya Tak Terlihat
Sembunyikan aplikasi media sosial di handphone. Daripada menempatkannya di layar utama, pindahkan ke folder yang sulit dijangkau atau bahkan hapus aplikasi yang bersifat sosial media.
Sebagai gantinya, letakkan buku yang ingin kamu baca di tempat yang terlihat, seperti di meja samping tempat tidur atau di meja kerja dan lebih baik lagi ketika kamu membawanya kemanapun kamu pergi sehingga buku yang sedang kamu baca benar-benar menjadi pengganti dari handphonemu.
2. Hukum Kedua (Gairah): Menjadikannya Tak Menarik
Ubah cara pandangmu terhadap scrolling media sosial. Ingatkan dirimu tentang dampak negatifnya, seperti waktu yang terbuang dan informasi tak berguna yang kamu dapatkan darinya.
Sebaliknya, buatlah daftar manfaat membaca buku, seperti meningkatkan pengetahuan, mengurangi stres, dan memperbaiki konsentrasi. Coba untuk memilih buku yang menarik dan sesuai dengan minatmu agar menambah semangat membaca.
3. Hukum Ketiga (Tanggapan): Menjadikannya Sulit
Buatlah langkah-langkah yang menyulitkan akses ke media sosial. Misalnya, atur waktu tertentu di ponselmu untuk membatasi penggunaan aplikasi tersebut, atau gunakan aplikasi pemblokir yang membatasi akses ke media sosial.
Sebagai gantinya, siapkan buku yang ingin kamu baca dan buat jadwal harian atau bulanan buku yang akan kamu baca, sehingga kamu lebih terdorong untuk melakukannya.
4. Hukum Keempat (Ganjaran): Menjadikannya Mengecewakan
Ciptakan konsekuensi jika kamu melanggar kebiasaan baru. Misalnya, buat kesepakatan dengan teman untuk melaporkan berapa banyak waktu yang kamu habiskan untuk scrolling media sosial. Jika kamu melanggar batas waktu yang telah ditentukan, kamu harus membayar denda atau melakukan tugas yang tidak menyenangkan. Sebaliknya, berikan dirimu penghargaan kecil setelah menyelesaikan bab atau buku, seperti menikmati camilan favorit atau menonton episode acara TV yang kamu suka.
Dengan menerapkan keempat hukum ini, insya Allah kamu dapat lebih mudah beralih dari kebiasaan scrolling media sosial yang buruk ke kebiasaan membaca buku yang lebih positif dan bermanfaat.
Tips tambahan:
Ketika aku ingin menjaga kebiasaanku membaca buku, aku selalu menulis daftar buku yang aku baca di setiap bulan. Misalkan di bulan Januari, aku ingin membaca buku A dan buku B. Maka aku hanya akan fokus membaca dua buku itu saja di bulan itu.
Nggak perlu muluk-muluk, maksimal aku menargetkan membaca dalam satu bulan hanya 2 buku, biar nggak berat dan bisa lebih meresapi apa yang ada di dalam buku itu. Kalau misalkan aku jenuh, aku akan siapkan satu buku lagi yang sifatnya menghibur dan sekedar selingan saja.
Contoh, aku akan membaca buku “Atomic Habits” dan “The 7 Habits of Highly Effective People” di bulan ini. Keduanya adalah buku ilmiah yang cukup berbobot dan kalau aku murni cuma baca dua buku itu, aku bakal jenuh, mau muntah dan kena migrain. Maka, di samping dua buku itu, ketika aku bosan, aku bakal baca 1 buku hiburan, katakanlah novel fiksi Tere Liye.
Jadi performaku membaca buku ilmiah nggak terganggu dan tetap bisa maksimal.
***
5 Januari 2025