ziyad syaikhan

/artikel/ cerita/ curhat/ opini/

Sepotong Mozaik dari Masa Depan

Bagian 1; Podcast sebelum tidur

Biasanya sebelum tidur, aku masang tws di telinga aku buat dengerin podcast. Entah podcast improvement, podcast santai dan berbagai podcast lain yang pastinya aku pastikan ada benefitnya buat aku, bukan yang sekedar haha hihi. Kebetulan malem itu aku dapet podcast yang bahas beasiswa. Nama channelnya Academic Talk. 

Di situ terjadi sebuah percakapan antara dua wanita yang sama-sama merupakan mahasiswi dari universitas di Aussie alias Australia. Dan mereka berdua sama-sama sedang mengambil Ph.D yang artinya udah S3. 

Dari sekedar mendengarkan podcast ini, banyak sekali poin yang aku dapatkan, aku tersadarkan akan banyak hal, terutama jalan hidupku ke depannya. Terutama, nasib kuliahku akan kemana dan akan mengambil jurusan apa? Dan baru kali ini aku benar-benar tercerahkan dan timbul semangat baru yang entah akan berapa lama dia akan bertahan. 

Padahal orangtuaku sudah seringkali mengingatkan dan menyemangati aku masalah nasib dan karirku ini, cuma aku tuh kalo denger dari orangtuaku, selalu pasti mereka tambahkan cerita hidup mereka yang ‘sangat keras’, ‘sangat susah’, ‘sangat menantang’ dan sebagainya itu yang malah efeknya bukanya ngebuat aku semangat malah ngebuat aku males dan down. Belum ditambah kalimat, “Oh, Ziyad itu enak, sekarang serba mudah.” “Kami itu dulu susah payah, nggak ada fasilitas selengkap kayak kamu sekarang.” 

Secara nggak langsung, yang ada di otak aku adalah mereka mengatakan, “Kami kuat, generasi kami kuat dan orang-orang terdahulu kami adalah orang yang tangguh. Sedangkan kalian para generasi baru, para generasi muda adalah generasi lemah, generasi goblok, generasi manja dan sebagainya.” 

Walaupun memang nggak salah.

Balik ke poin tadi. Terlepas dari nasehat orang-orang zaman tua itu, ketika aku mendengarkan podcast dari kedua wanita pintar ini, dari bagaimana mereka bercakap-cakap, dari bagaimana mereka berapi-api ketika membahas pengalaman mereka, keambisiusan mereka, bagaimana mereka berani sekali dan cerdik menghadapi semuanya. Bagaimana mereka nggak peduli seberapa banyak mereka gagal, mereka nggak peduli, karena mereka bener-bener fokus hanya ke maju, maju dan maju. 

Gagal atau tidak berhasil itu bukan suatu masalah berarti bagi mereka. Dan tentu saja kita harus camkan ini ke dalam diri kita juga. Karena sebenernya gagal itu bukan berarti kita gagal saat itu dan nasib kita jatuh saat itu juga. Gagal itu lesson dan bahan buat kedepannya. Istilahnya revisi untuk diri kita sendiri dan berbenah untuk maju kembali ke depannya. 

Di situ, aku juga mendapatkan poin baru yang nggak pernah aku terpikir sebelumnya. Kebetulan sang narasumber ini orang yang emang sangat ambisius, sangat ceria dan penuh semangat. Salah satu poin yang menurutnya bisa membawanya ke titiknya di saat ini adalah 

“Jadilah orang yang nekat.” 

Yes, karena dengan menjadi orang yang nekat, atau yang bar-bar. Ia nggak akan berpikir panjang untuk mencoba segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan, ia nggak akan peduli apa yang akan dia hadapi, masalah atau kegagalan apa yang akan ia telan, karena dia fokus, matanya sudah terkunci hanya ke hal yang ia inginkan. 

Mau istilahnya tangannya copot semua, kakinya copot semua, dia bakal tetep merayap ke titik itu. Simpelnya, mereka berani dengan segala resiko dan nggak takut. Mereka orang-orang kuat. 

Dan kita? Kita harus menjadi bagian dari orang-orang kuat, nekat dan bar-bar itu. 

Sebenernya poin bagusnya masih banyak banget, cuma nggak akan aku bahas semua di sini. Kalau ada yang penasaran, video apa sih yang aku maksud, ini linknya;

https://www.youtube.com/watch?v=pfXwrEA5Z00

Bagian 2; Ternyata waktu sudah nggak banyak lagi. 

Setelah aku berlarut-larut mendengarkan podcast mereka, jam pada waktu itu dah masuk pukul 1 malam. Akhirnya aku ngelamun sendiri. Terbersit dalam benakku, “Ini nih contoh orang yang orangtua aku suka pastinya, dan aku juga pengen kayak mereka. Pengen deh, kuliah tinggi-tinggi, ke luar negeri kek, atau minimal kampus lokal tapi yang terbaik. Kan, aku bisa jadi versi terbaik yang aku banggakan juga kedepannya.” 

Tiba-tiba aku ngitung. Sekarang, aku baru masuk kelas 3, kuliah (bahasa Arab) udah mau masuk semester 3. Berarti, waktu aku untuk mempersiapkan diri menuju kuliah yang sesungguhnya itu CUMA 1 TAHUN. 

Momen pas aku sadar waktuku tinggal satu tahun, itu aku bener langsung melek lebar, nggak jadi ngantuk. Langsung dredeg. 

“Lah, ternyata udah tinggal 1 tahun? Oh my Gawd.” Pada akhirnya, aku melanjutkan overthinkingku. Semalem itu aku nggak tidur. Aku langsung menyusun rencana dalam pikiranku. Berbagai pertanyaan aku buat untuk aku jawab sendiri.

“Aku mau kuliah dimana?” “Mau ngambil jurusan apa?” “Apakah aku bakal saklek milih universitas dari Madinah atau Timur Tengah aja?” “Apakah malah aku kena plot twist, kuliah ke luar negeri?” “Gimana caranya aku dapetin beasiswa?” “Apa yang aku harus siapin?” “Univ lokal apa aja yang terbaik dan bergengsi?” 

Masih banyak pertanyaan lainnya pada waktu itu yang aku pikirkan dan aku berusaha jawab. Cuma karena pada saat itu udah malem banget, mepet pagi, aku malah pusing, karena otakku nggak mampu memproses semua pertanyaan sebanyak itu dalam satu waktu. Akhirnya aku tidur. 

Beberapa hari kemudian, aku akhirnya dapet momen enak buat mikir. Salah satu cara enak buat menghadapi dan mengolah overthinking adalah dengan menuangkannya ke buku. Makanya ketika itu, jam 7 ketika aku dah selesai nyimak muridku setoran, aku langsung menyiapkan kopi, kursi, buku dan sebuah pena tepat di depan sebuah jendela. 

Paket komplit sekali untuk menikmati waktu tenang. Karena masih pagi, keluargaku yang lain pada tidur semua. Beh, nikmatnya. Aku jadi ngayal jauh-jauh kalo misalkan aku hidup sendiri, di kamar sendiri, semuanya sendiri, nggak ada yang ganggu, itu nikmat banget sih.

Akhirnya aku mulai nulis semuanya. Tentang mimpi dan rencanaku untuk kedepannya, yang pastinya sangat detail dan panjang. Semua tulisan itu, akan aku tuang kembali di sini.

Bagian 3; Mau kuliah ke mana? 

Dari dulu, orangtuaku selalu mensodok aku dengan mimpi melanjutkan studi ke Madinah, atau intinya ke Timur Tengah. Karena memang untuk dari berbagai sisi, lebih aman dan lebih mudah untuk menjaga diri dan mempertahankan agama di tempat yang justru pusatnya peribadatan.

Dan aku yang memang hampir setiap saat selalu mendengar kata ‘Madinah’ dan ‘UIM(Universitas Islam Madinah)’ ya jelas aku terhipnotis. Seolah, ‘tujuan aku hanya ke UIM.’ Tapi setelah lewat beberapa waktu, aku mulai tersadar, “Apakah mimpiku sesaklek itu?” 

Kan Timur Tengah bukan satu-satunya tempat di mana aku bisa berkembang menjadi lebih baik lagi. Aku masih bisa ngincer univ lain yang mereka juga terbaik dan bagus, kan? Orangtuaku selama ini juga sebenernya nggak pernah memaksa 

“Oh, KaMu CuMa BoLeH kUlIaH ke UIM AjA yA. NgGaK BoLeH yAnG LaIn.”

Alhamdulillah orangtua aku nggak gitu. Cuma karena selama ini akunya yang terhipnotis dengan ribuan kata Madinah masuk ke telingaku,dan itu nggak cuma dari orangtua, tapi dari berbagai pihak lain, jadi aku kayak cuma bisa ngeliat satu titik itu aja.

Maka ketika aku sadar, aku langsung survey kesana-kemari untuk masalah univ dan jurusan apa yang tepat untuk aku? Untuk jurusan, aku sudah punya beberapa pilihan yang memang dari segi intinya, mereka sama; Sosial dan Komunikasi / Hubungan Antar Manusia. 

Jurusan yang pertama; Psikologi

Kenapa Psikologi? Apa yang aku cari dari jurusan ‘membaca pikiran’ ini? Karena, pertama, aku memang secara latar belakang dari kecil merupakan anak yang introvert. Kalau introvert kenapa? Otomatis aku lebih banyak nyimak, mendengarkan dan memperhatikan.

Dari mendengarkan dan mengobservasi ini, aku seringkali menyimpulkan sendiri, “Oh, dia orangnya gini, dia orangnya gitu, kalo ada ini, dia bisa marah (contoh), kalo dia ini, dia seneng.” Simpelnya gitu. Aku bisa teliti itu orang-orang sampe sejauh itu. 

Dan menurutku, meneliti orang-orang dengan berbagai keunikannya itu asyik loh. Kayak kita menghadapi berbagai mesin mobil yang beda mobilnya, beda pula rangkanya, beda pula karakternya, beda pula cara penanganannya. Manusia juga gitu, beda orang, beda cara kita memandang dan menyikapinya.

Apalagi ketika aku zaman masuk SMP, aku punya beberapa temen yang suka cerita ke aku, ngobrol, ngungkapin apa yang dia rasain. Istilahnya, curhat lah. Mendengarkan curhat ini bisa terasa lebih menyenangkan lagi dan lebih mendalam lagi dari sekadar kita memperhatikan dari jauh. Karena ketika aku mendengarkan curhat orang-orang yang berbeda, aku bisa menyelam lebih dalam lagi ke dalam emosi mereka. Ikut masuk ke dunia dia dan kita bisa dapet banyak data cuma dari satu orang curhat dalem-dalem lho. 

Makanya dengan aku memilih jurusan ini, insya Allah sangat sesuai dengan passion yang aku miliki. Sampe sekarang pun aku masih suka sekali mendengarkan curhat dari beberapa temenku. Menyimak masalah-masalah yang mereka miliki, sambil kita juga memikirkan apa solusi yang tepat untuk teman kita satu ini. 

Psikologi ini menarik dan menyenangkan menurutku. 

Jurusan yang kedua; Ilmu Komunikasi. 

Masih satu dunia dengan Psikologi, yaitu tentang hubungan antar manusia. Namun ia lebih ke masalah umum lah ya. Misalnya seperti hubungan komunikasi interpersonal, komunikasi massa, komunikasi antar budaya dan masih banyak lagi. 

Seperti yang aku tegaskan dari awal, aku memang suka dengan dunia ini. Tapi untuk alasan khusus mengapa aku memilih komunikasi setelah memilih jurusan psikologi. Kalo psikologi kan dia masalah komunikasi secara emosional antara manusia, mengenali karakter manusia, menganalisa berbagai behavior dari berbagai individu yang tentunya dengan perbedaannya masing-masing. 

Sedangkan ilmu komunikasi, ia lebih lebih luas cakupannya dan lebih umum. Seperti jika kita melihat dari profesinya, kita bisa menjadi Copywriter, Jurnalis, reporter, Costumer service dan sebagainya. 

Dan semua bidang itu juga insya Allah aku sangat suka dan semoga aku bisa menikmatinya. Terutama Copywriting yang sangat berkaitan dengan copywriting dan sangat berguna di bidang usaha dan bisnis. 

Jurusan yang ketiga; Sastra Inggris

Nggak perlu panjang-panjang. Jika sudah membahas masalah bahasa inggris, kita semua udah tau kalo bahasa inggris ini merupakan bekal terbaik yang bisa saja membawa kita ke tempat yang jauh. Apalagi ini kita sampai mendalaminya sampe ke sejarah dan seluk beluknya semuanya.

Insya Allah ini nggak sia-sia, meskipun dia bakal jadi jurusan yang jadi pilihan terakhir aku. Ketika aku dah nggak punya choice selain itu. 

Rencana Kecil; Ke Kampung Inggris di Pare

Membahas masalah kampung inggris ini, umiku mengusulkan untuk aku pergi ke sebuah kampung di Jawa Timur. Di mana di sana aku bisa belajar bahasa inggris secara fokus, dengan lingkungan yang mendukung tentunya. Karena jika aku tinggal di Asrama yang khusus disiapkan untuk seluruh murid dari Kampung Inggris di Pare, pastinya kami diwajibkan untuk selalu berbahasa inggris dan selalu mengevaluasi kemampuan kita setiap hari. 

Melihat aku sudah punya tabungan sendiri dari hasil mengajarkan alquran kepada murid-muridku, insya Allah aku bisa menggunakan uang itu buat hal-hal seperti ini yang pastinya nggak sia-sia.

Bagian 4; Apa rencana besar lainnya selain semua yang tadi sudah disebutkan?

Insya Allah, andaikan aku sudah diterima salah satu dari kampus-kampus terbaik yang ada di Indonesia, sambil terus berusaha untuk mencari beasiswa ke kampus luar, terutama Timur Tengah yang memang merupakan mimpi lama Umi sama Abi.

Ketika aku masih menempuh kuliah di kampus dengan jurusan Psikologi, insya Allah aku juga akan mengambil kuliah di IOU (Islamic Online University) di mana orangtuaku keduanya sama-sama ngambil kuliah ini sekarang. Yang bakal aku ambil? Ya jurusan bahasa Arabnya. Semoga kemampuanku udah mumpuni buat menghandle dua jurusan sekaligus lah ya. 

Karena yang aku lihat dari orangtuaku, sepertinya hanya kuliah bahasa Arab itu sendiri aja udah bisa menjadi beban yang sangat amat. Walaupun faktor terbesarnya aku juga tahu, karena mereka emang nanggung banyak hal. Kalo aku ketika kuliah nanti, aku bakal berusaha untuk lock in sendiri, tinggal sendiri. Merantau.

Yes, aku ingin merantau. Aku pengen banget ngerasain gimana jauh dari keluarga, gimana rasanya hidup sendiri atau bersama orang lain yang asing. Gimana rasanya semuanya berusaha sendiri. Cari penghasilan tambahan dari kerja sambilan.

Karena selama ini, aku udah bosen dengan cerita-cerita agung orangtua aku ketika mereka masih kuliah, atau bahkan cerita dari sebelum mereka kuliah. Tentang bagaimana susanhnya mereka. Bagaimana mereka menghadapi susahnya kehidupan dari keluarga yang nggak mampu. Gimana mereka bisa push to the limit sampe mereka bisa menerobos berbagai masalah di masanya. Lalu mereka pas cerita masa-masa susah mereka, pasti bakal cerita dengan bangga dan agak sombong lah ya. 

“Kami kuat dan kamu nggak ada apa-apanya. Kamu dah enak, nggak tau rasanya susah.” 

Lalu, kenapa mereka bisa sekuat itu, kenapa mereka bisa setangguh itu dan nggak selembek anak zaman sekarang yang mungkin cuma ada panu di muka mereka aja dah langsung minta perawatan jutaan? Atau semanja anak-anak yang bisa seenaknya minta duit ke orangtuanya, minta beliin barang baru, hape baru, barang branded, semuanya minta ke orangtua. 

Kenapa orang-orang tua kita bisa sekuat itu? Jawabannya, karena ketika mereka terbiasa berpikir, “Aku harus menyelesaikan ini sendiri, aku nggak punya siapa-siapa selain Tuhan.” Maka insting bertahan mereka semakin tajam. Setiap kali mereka menemukan problem, insting mereka terasah, otak mereka dipaksa berpikir. Apalagi kebanyakan dari generasi mereka sudah merantau jauh dari orangtua mereka semenjak kecil dan kebanyakan dari mereka juga bukan dari keluarga yang mampu. Jadi mereka semua sama-sama berusaha mencari solusi untuk keadaan mereka sepenuhnya sendiri.

Dan faktor terbesar lainnya mengapa mereka bisa kuat dan cerdas; nggak ada sosial media atau gadget dalam jenis apapun di zaman dulu. Maka apa? Maka mereka bisa fokus. Nggak ada orang-orang dulu segampang sekarang eksis. Palingan itu hanya kalangan orang kaya aja. Itupun nggak banyak. Seperti yang kita ketahui, gadget adalah pengaruh terbesar di berbagai generasi. 

Oke, kenapa jadinya jauh sekali. 

Intinya, di zaman serba mudah yang manjah dan sentosa ini, akulah yang insya Allah meminta kesusahan itu. Semoga aku mendapatkan berbagai problem yang menyusahkan dan semoga aku bisa keluar dari seluruh problem itu dengan usahaku dan doaku sendiri. Semoga aku mendapatkan berbagai rintangan dimana orang-orang bakal dosa kalo mereka masih bilang aku ENAK, MANJA, dan LEMBEK. 

Dan semoga dari semua itu, aku bisa tumbuh, berkembang, jadi versi aku yang terbaik, dan semoga Allah beri aku kesuksesan murni dari jalan yang halal dan bener-bener cuma aku yang berusaha. Semoga orangtua aku bisa ngeliat di masa depan gimana anak pertamanya yang saat ini cuma sampah bisa jadi versi terbaiknya nanti.

Next Post

Previous Post

Leave a Reply

© 2024 ziyad syaikhan

Theme by Anders Norén