ziyad syaikhan

/artikel/ cerita/ curhat/ opini/

Seorang Pecundang dan Pikirannya

Bagian 1: 

Malam Minggu, Seorang Pecundang terduduk di tepi jalanan, di sebuah kursi besi depan Indomaret. Di sela jarinya, ada sebatang rokok yang sudah habis setengah. 

Semenjak setengah jam yang lalu, ia hanya menontoni kerumunan kendaraan yang berlalu di hadapannya. Menatap banyak manusia dengan berbagai perbedaannya. 

Ada sebagian dari mereka yang buruk rupanya, mengendarai kendaraan yang tak kalah buruknya, terlihat berdebu dan memprihatinkan. Ada pula dari mereka yang tak terlihat, karena mereka berada di dalam mobil mewah berkilau yang menutup wujud mereka, mereka terlihat berada di atas yang lainnya. Ada juga dari mereka yang biasa saja, tak miskin, tak pula kaya. Tak ada yang mencolok darinya. 

Sang Pecundang menghisap rokoknya, menghembuskannya. Dari seluruh manusia yang berlalu di hadapannya, ia berpikir. 

“Kenapa ada orang kaya? Kenapa ada orang miskin? Mengapa Tuhan yang Maha Adil itu tak menjadikan seluruh manusia kaya dan bercukupan? Apa definisi dari keadilannya? Jika ia begitu Maha Adil, mengapa manusia sepertiku ini masih miskin dan tak ada bedanya dengan kucing jalanan yang kudisan itu?” 

Ia menghisap rokoknya habis, membuang puntungnya. Ia meraih kotak rokok, ia mengintip ke dalamnya, habis. Ia menghela nafas panjang, membuang kotak rokok ke tong sampah di hadapannya. 


Rokoknya habis, tapi pikirannya kini penuh dengan tanda tanya.

“Jika Tuhan Maha Adil, mengapa kontras ekonomi di umat manusia pasti ada? Apakah itu definisi dari keadilan versi Tuhan? Apakah keadilannya adalah menyeimbangkan jumlah yang kaya dan yang miskin?” 

Ia menggumam, “Bisa jadi.”

Seorang nenek lewat di pandangannya, lewat di antara kerumunan kendaraan. Ia membawa berbagai bunga di tangannya. Sang Pecundang hanya memandangnya dari kejauhan.

“Jika Tuhan memang Maha Adil, apakah seharusnya nenek penjual bunga itu sedang menaiki mobil limusin dengan keluarganya di sekelilingnya? Menikmati masa tuanya dengan bahagia dan tenang?

Namun lihatlah dia. Nyatanya, dia sendiri, di tepi jalan, bunga-bunga palsu di tangannya hanyalah harapannya untuk bertahan hidup. Apakah ini definisi dari keadila Tuhan?” 

Nenek itu menghilang dari pandangannya, tenggelam dalam cahaya lampu kendaraan yang silau. Sang Pecundang bangkit, masuk sebentar ke dalam indomaret, membeli sebungkus rokok lagi. 

Ia membuka plastik segel kotak rokoknya, sembari memandangi gambar peringatan yang sudah beribu kali ia lihat. ‘Peringatan, Rokok membunuhmu.’ Ia mengabaikannya, mengambil satu batang rokok dan menyalakannya. 

Kali ini, pikirannya berkait dengan rokok. Para perokok tahu betul dengan fakta bahwa rokok akan membunuhnya di kemudian hari, namun apakah informasi itu membuat mereka berhenti? Takut? Tidak. Karena mereka ‘memilih’ untuk merokok, sehingga mereka tak peduli dengan konsekuensi yang ada. 

Sang Pecundang merenung. Asap keluar dari seluruh rongga mulut dan hidungnya. “Pilihan.” Benar, aku merokok karena aku memilih. Benarlah konsep ‘Pilihan ada di tangan masing-masing.’ 

Matanya kembali menatap jalanan. Menatap kontras antara manusia kaya dan manusia miskin yang terus terlihat. Kemudian ia berpikir kembali, “Apakah kaya atau miskinnya seseorang merupakan pilihannya sendiri?” 

Pikirannya menjadi rumit, kemudian ia mencoba memandang dari sudut pandangnya sendiri. “Apakah aku memilih untuk menjadi miskin dan biasa-biasa saja seperti saat ini? Tentu jawabannya tidak. 

Tapi kalau dipikir lagi, sesungguhnya aku memang memilih keadaan ini! Karena aku memilih untuk pasrah dan tak berbuat apa-apa. Ah, betul sekali.” Sang Pecundang tertawa kecil, macam baru mencetuskan sebuah penemuan brilian. 

“Andaikata sekarang aku mencoba berpikir untuk menjadi kaya, apakah aku bisa?” Ia berpikir sebentar. “Bisa saja, kita tak tahu apa rahasia yang akan Tuhan ungkap jika kita mulai berusaha. Tapi pertanyaannya sekarang, aku bisa apa?” 

Pikirannya kembali kusut. Ia memutuskan untuk mengambil buku notes kecilnya dan sebuah pulpen. Mulai iseng menggambar pemandangan di hadapannya. Ia terampil sekali, setiap goresannya menggambarkan imajinasinya dengan akurat. Ketika gambarnya rampung, ia menjadi potret yang indah sekali. Seperti menuangkannya langsung dari mata ke kanvas.

Bagian 2: 

“Jika aku merenung lagi, sebenarnya aku mempunyai banyak kemampuan dan keterampilan. Tentu saja mereka semua berasal dari Tuhan, dialah yang memberikan kemampuan itu. Lantas, mengapa aku masih melarat dan biasa-biasa saja?” 

Sang Pecundang mengangkat pulpennya dari kertas notes. Gerimis mulai membungkus kota. Suara bising kendaraan kini larut bersama suara hujan yang kian deras. 

“Sebentar.” 

“Andaikan aku menggunakan seluruh keterampilan dan kemampuan yang aku punya, mendalaminya, lalu menggunakannya sebagai sarana mencari rezeki, mungkin aku bisa kaya?” 

Ia mengusap wajahnya. 

“Berarti, pada dasarnya, Tuhan memanglah Maha Adil. Kenapa ada manusia kaya dan mengapa ada manusia miskin? 

Pada dasarnya tak ada orang yang memilih untuk menjadi miskin, tapi untuk menjadi kaya, itu adalah pilihan dan tak semua orang memilih untuk menjadi kaya. 

Ya, semua orang ingin menjadi kaya. Tapi apakah mereka mau melewati berbagai duri dan rintangan atau proses untuk kaya? Itulah pilihannya. Di situ orang memilih. Apakah mereka mau melewati itu? Atau pasrah saja dengan keadaanya sekarang?

Lalu, dari manakah sisi ke-Maha Adil-an Tuhan? Tuhan tak pernah tak memberikan sesuatu kepada manusia. Semua manusia pasti mendapatkan berbagai pemberian dari Tuhan dengan kadarnya masing-masing.

Salah satu pemberian Tuhan yang pasti semua manusia dapatkan adalah bakat spesal, atau keterampilan tertentu. Tak ada manusia yang tak memiliki bakat. Dan dari bakat itu manusia bisa menggunakannya dalam menjalani kehidupan atau mencari nafkah. 

Namun kadangkala bakat ini menjadi misteri di sebagian manusia, mereka tak tahu apa bakat yang mereka pendam selama ini, karena itu mereka butuh introspeksi. Ada pula yang tahu betul kemampuannya apa, ia bisa apa, namun tak memilih untuk memanfaatkannya dan mencari hal lain yang bisa ia kerjakan.

Apa kesimpulan dari pikiranku ini?

Tuhan adalah Maha Adil, dan seluruh manusia pasti mendapatkan rezekinya dengan kadarnya masing-masing. Tuhan-pun memberikan pilihan kepada kita. Apakah kita mau menjadi biasa-biasa saja dan pasrah dengan keadaan yang kita hadapi sekarang, atau memilih untuk menjadi berbeda dan lebih di atas dari yang lain dengan usaha ekstra dan perjalanan yang lebih susah.

Itu pilihan kita.

Semuanya adalah tentang pilihan. Masuk akal.”

Sang Pecundang menatap kotak rokok yang baru saja ia beli. Kemudian bangkit dari kursi besi, melemparkannya ke dalam tong sampah.

“Mulai hari ini, aku akan berhenti merokok, dan memilih untuk menjadi sehat.” 

Ia melangkah pelan menjauhi swalayan, menerobos hujan yang kini lebat. Membiarkan air membasahi rambut dan jaket lusuh yang membalutnya. 

Next Post

Leave a Reply

© 2024 ziyad syaikhan

Theme by Anders Norén