Bagian 1: Kenyang dengan petuah mereka
Aku adalah anak pertama dari lima keluarga. Tinggal di sebuah keluarga dengan orangtua yang strict dan taat agama. Kombinasi mematikan bin mengerikan ini biasanya akan menghasilkan diantara dua tabiat ini: nasehat dan omelan luar biasa lama, panjang dan menyakitkan atau hukuman fisik mereka yang luar biasa brutal. Ada orangtua yang hanya memiliki salah satu tabiat tadi, ada pula yang keduanya (semoga kalian sebagai anaknya masih hidup).
Orangtuaku? Mereka tipe yang pertama. Nasehat dan omelannya yang out of the world. Aduh, ya Allah. Dan aku adalah anak yang paling banyak menerima nasehat, omelan dan petuah mereka itu semenjak kecil. Sehingga aku sekarang menjadi orang yang paling hafal dan mengerti motif mereka dalam menasihati. Bahkan sebelum mereka mulai menyemburkan petuah-petuah klasik membosankan itu, aku pun sudah bisa membaca ruangan dan mengetahui bahwa mereka akan melakukan itu.
Aku tak bisa menggambarkan apa saja tanda-tanda mereka akan ngomel, tapi aku bisa tahu 20 menit sebelum itu terjadi. Biasanya ketika aku sadar bahwa hawa ruangan mulai berubah, aku akan segera menyiapkan telinga dan mentalku. Ketika namaku sudah menggema di seantero rongga-rongga rumah, aku akan langsung mengampiri mereka. Tak perlu protes, sia-sia. Itu hanya akan memperburuk mood mereka. Patuh saja.
Skenario selanjutnya adalah aku akan duduk bersimpuh di atas lantai yang dingin. Di hadapan mereka yang sudah menghujamkan tatapan tajam mereka kepadaku. Aku hanya bisa meneguk liurku, pahit sekali. Dalam 45 menit kedepan, hanya telinga dan akalku yang aku gunakan. Anggota tubuh yang lain aku jadikan mode sleep.
Ketika akhirnya semuanya berakhir, aku akan mengangkat pantatku dari ubin yang sudah panas. Betisku keram, telingaku panas. Otakku apalagi.
Capek cuk nerima nasehat mereka. Bayangin dalam sekali duduk kamu sudah mendapatkan berbagai petuah klise (yang sebenarnya sudah berkali-kali mereka ulang), roasting, harapan dan tuntutan serta gerutuan mereka yang sebenarnya nggak perlu diucapkan, cuma tetap diucapkan sebagai pelampiasan. Dan yang membuat momen ini sangat melelahkan, aku nggak bisa hanya sekedar mendengarkan. Karena otakku juga harus bekerja menelan satu persatu omongan yang mereka lemparkan. Aku harus berpikir keras juga, berusaha memahami apa sih maunya mereka.
Dan aku sudah menjalani pola ini berkali-kali, bertahun-tahun. Ow my god, kamu bisa bayangkan betapa berotot telingaku menjadi pendengar mereka? Tak diragukan lagi.
Disclaimer ya, aku nggak menjelekkan orangtuaku di sini. Justru aku tetap berterima kasih kepada apa yang sudah mereka lakukan padaku. Karena aku sendiri sebenarnya merupakan pahatan dari semburan petuah mereka.
Aku hanya membahas dari metode penyampaian mereka yang lumayan nyelekit.
Meskipun memang bukan pengalaman yang menyenangkan, tapi dari semua pengalaman mendengarkan mereka, aku sedikit demi sedikit mulai memahami posisiku sebagai pendengar dan bagaimana aku melihat orangtuaku ketika menasihati dan memberi masukan.
Bahasa kasarnya, aku sudah berpengalaman menjadi korban (nggak bisa disebut gini juga sebenernya).
Waktu berjalan, aku tumbuh dan bertambah dewasa. Sekarang, diriku sudah mencapai tahap di mana aku bisa meniru gaya mereka mengomel. Persis. Sampai saat ini, aku sudah puluhan kali memberi masukan panjang lebar kepada kawan-kawanku ketika mereka curhat. Tanpa aku sadari, aku telah menjadi pengomel handal juga. Tak ada bedanya dengan kedua orangtuku.
Setelah mendapatkan pengalaman dari kedua sisi, aku sadar. Gaya memberi masukan brutal orangtuaku tak bisa sembarangan ku terapkan terhadap orang lain. Apalagi kawanku sendiri. Aku beberapa kali secara spontan mengomeli kawanku seperti itu. Hasilnya, mereka menjadi tidak nyaman dan malah merasa terintimidasi.
Sekali lagi, aku nggak menyalahkan orangtuaku. Kita semua bisa memaklumi bahwa bagaimanapun mereka mengomel, menghukum, mengkritik kita dengan keras. Itu semua hanya karena mereka sayang. Ketika mereka menegur kita dan marah, seringkali mereka sudah terlalu fokus dengan pesan yang mereka ingin sampaikan, sehingga melupakan cara mereka dalam menyampaikan pesan tersebut.
Poin penting aku di sini adalah aku banyak belajar dari pengalamanku dinasehati oleh mereka dan apa koreksi yang harus ditambahkan ketika kita dalam posisi memberi masukan kepada kawan kita, junior atau rekan seperjuangan. Nggak mungkin dong kita menggunakan cara menasihati orangtua kita plek-ketiplek kepada kawan di luar sana.
Bunuh diri mereka.
Bagian 2: Kesalahan dan Solusi
- Salah satu kesalahan metode dalam penyampaian nasehat yang aku pelajari adalah terlalu banyak menyampaikan, tanpa memberi jeda dan kesempatan untuk pendengar merespon dan berpikir. Mungkin sebagai penasehat, pasti kita ingin sekali menyampaikan masukan kita dengan baik dan sempurna kepada si pendengar. Kita ingin mereka paham betul terhadap poin penting yang kita berikan. Kita ingin mereka pokoknya harus paham semuanya dalam sekejap. Makanya reflek kita biasanya langsung membeberkan semuanya saat itu juga. Entah karena takut lupa atau memang gemas sekali dengan masalah si pendengar.
Mungkin tujuan kita baik, tapi di posisi pendengar, ini sangat membuat nggak nyaman. Kita ibaratkan saja nasehat itu adalah ayam panggang utuh, sebagai permisalan. Bayangkan kita disodorkan ayam panggang itu di hadapan kita dan kita diminta untuk menghabiskannya secara utuh langsung, saat itu juga. Apakah bisa? Nggak.
Ujung-ujungnya, kita hanya bisa memakan setengahnya atau malah kurang. Itupun dengan acara mual dan susah payah.
Begitu pula dengan nasehat. Ketika nasehat itu disampaikan panjang lebar tanpa henti, sebagai pendengar, otak mereka akan cepat panas dan pusing. Otak mereka terpaksa cepat kenyang.
Dituntut untuk melahap setiap perkataan tanpa diberi kesempatan untuk berpikir atau merespon hanya akan membuat mereka semakin badmood.
Caranya? Sampaikan masukanmu sedikit-sedikit. Berikan jeda tiap beberapa menit. Biarkan pendengar kita berpikir dan merenung. Sesekali, berikan pertanyaan kepada mereka untuk menunjukkan bahwa kita memang mendengarkan mereka dan tulus ingin membantu. Justru poin penting dalam curhat menyurhat adalah kita (sebagai penasihat) yang lebih banyak mendengarkan. Larry King dalam bukunya, “How to talk to Anyone, Anytime, Anywhere” beliau mengatakan.
“Jika Anda tidak mendengarkan orang dengan lebih baik, Anda tidak dapat mengharapkan mereka mendengarkan Anda dengan lebih baik juga.”
Ketika kita sudah mendengarkan masalah mereka, barulah kita memberikan pendapat dan saran kita. Dan usahakan agar tak bertele-tele, cukup sampaikan poin utamanya saja, tak usah melantur kemana-mana.
Ibaratkan kita memberikan ayam utuh, namun kali ini kita menyuapi mereka. Kita biarkan dulu ia mengunyah, tunggu dia menelannya, suapi lagi. Jika sudah kenyang? Cukup. Ayam yang tersisa bisa disimpan. Nggak semua hal harus diselesaikan saat itu juga. Ada yang memang butuh perlahan dan bertahap. Berproses.
- Kesalahan kedua yang juga menonjol adalah terlalu menunjukkan api emosi kita. Seringkali ketika aku berada di posisi pendengar, saat orangtua atau guru menasihati, aku tak hanya harus menahan tekanan dari ucapan mereka. Tapi juga tekanan emosi mereka. Sampai nak muntah aku.
Semua orang pasti mengerti bahwa emosi adalah salah satu elemen yang sangat menular.
Ketika melihat orang lain bahagia, kita secara naluriah akan ikut senang. Begitu pula ketika kita melihat orang marah dan sedih. Kita turut bisa merasakan tekanan emosi yang mereka pancarkan.
Bayangkan apabila emosi negatif itu terpapar secara langsung kepada kita? Rasanya tak enak. Tak nyaman. Masukan dan petuah itu terasa pahit di telinga kita karena bercampur dengan suasana hati yang tak karuan.
Dari situ, kita bisa menyimpulkan bahwa sebagai penasehat, kita juga kudu pandai mengontrol emosi. Terutama raut wajah dan bahasa tubuh. Berlatihlah untuk tetap tenang dan santai. Berlatih juga untuk menjaga gerak tubuh kita agar tak terkesan menyudutkan sang pendengar.
Intinya jangan sampai masukan kita bercampur dengan emosi negatif yang tak diinginkan. Ketika hati pendengar kita tenang, ia akan mampu fokus ke pikirannya secara sempurna. Poin yang kita sampaikan insya Allah akan lebih mudah masuk.
- Kesalahan selanjutnya yang aku sering temui adalah menyumpah atau menyalahkan pendengar. Oh, gila. Menurutku ini justru poin paling penting di antara semuanya.
Ungkapan seperti, “Ah, kamu kan udah tak bilangin sebelumnya,” atau “Ah, susah banget si ngasih tau kamu,” atau “Aku kecewa banget sama kamu,” dan sebagainya. Ini semua adalah ungkapan yang ketika kamu sudah ucapkan, maka kamu telah menurunkan mental si pendengar. Aku tahu seringkali saat kita menegur dan mengoreksi teman kita, kita gemas, emosi dan sebenarnya pengen nampol wajah mereka. Iya, mungkin mereka salah. Tapi yang kamu butuh lakukan ya mengoreksinya, memberi tahu apa yang benar. Bukan menyalahkan.
Beda ya ‘menyalahkan’ dengan ‘memberi tahu kesalahannya’. Menyalahkan itu lebih ke kamu menyebutkan kesalahannya dan mengungkapkan kekesalanmu. Sedangkan memberi tahu kesalahannya, kamu memberi tahu apa salahnya, lalu memberikan saran dan solusi. Beda.
Poin ini berkaitan dengan poin sebelumnya. Intinya sama, jangan menunjukkan emosi negatif kita kepada pendengar. Fokus saja pada apa yang penting dan sampaikan.
Bagian 3: Tips Romantis
Salah satu cara para ulama terdahulu ketika menegur sesamanya adalah menegur secara sembunyi-sembunyi untuk menjaga privasi dan tak menjatuhkan harga diri yang dinasehati.
Salah satu kisah paling masyhur terkait hal ini adalah kisah Imam Ahmad bin Hanbal.
Suatu hari, Imam Ahmad sedang berjalan dan melewati suatu majlis. Ia melihat bahwa mu’alim dari majlis tersebut (yang merupakan Harun Ibn Abdullah, murid dari imam Hanbal) bernaung di bawah teduhnya pohon, sedangkan muridnya yang duduk melingkarinya harus terkena teriknya matahari. Pemandangan ini mengganggu perasaan Imam Ahmad.
Malam itu, pintu rumah Harun Ibn Abdullah diketuk. Ketika dibuka, Imam Ahmad terlihat berdiri di hadapannya. Saat melangkah masuk, sang Imam terlihat berusaha untuk tak menimbulkan suara sedikitpun.
“Maafkan aku yaa Harun. Aku tahu engkau biasanya masih terjaga meneliti hadis selarut ini. Maka aku pun memberanikan diri mendatangimu. Ada hal yang mengganggu perasaanku semenjak siang tadi.”
Harun pun terkejut. “Semenjak siang? Apa itu guru?”
Dengan suara sangat pelan, Imam Ahmad menerangkan. “Siang tadi aku lewat di samping majelismu saat engkau sedang mengajar murid-muridmu. Aku saksikan murid-muridmu terkena terik sinar mentari saat mencatat hadis-hadis. Sementara dirimu bernaung di bawah bayangan pepohonan,”
“Lain kali, janganlah seperti itu wahai Harun. Duduklah dalam keadaan yang sama sebagaimana murid-muridmu duduk. “
Ketika nasehatnya sudah disampaikan, sang Imam pamit dan tetap berusaha tak menimbulkan suara sedikitpun ketika melangkah pergi.
Apa kesimpulannya?
Setiap kita ingin curhat-menyurhat, cari tempat yang nyaman dan memang tertutup. Mungkin kafe di selipan gang? Mungkin di rumah? Atau di masjid ketika sepi? Ketika suasana sekitar nyaman dan sepi, akan lebih nyaman bagi kita untuk menyampaikan dan pendengar terjaga privasinya.
Alhamdulillah, aku sudah menerapkan poin satu ini semenjak lama. Kebiasaanku tiap ada kawan yang mengajak ketemu, aku langsung survey tempat yang kira-kira enak untuk dijadikan tempat ngobrol. Biasanya aku menghindari kafe-kafe dengan konsep indoor, yang biasanya banyak sekali anak muda kerja atau nongkrong di situ, rame.
Aku lebih sering milih kafe yang memang biasanya sepi dan terbuka. Lebih mantep lagi jika ia masuk gang dan bener-bener tersembunyi. Beh. Enak sekali sudah. Di situ mereka bisa membagikan masalahnya dengan detail, aku juga bisa memberikan saran-saranku dengan baik.