Bab 1: Menghadapi Dua Penentu Kehidupan
Aku menulis ini di pertengahan malam, tepatnya di jam 01:45. Ketika seluruh ruangan rumah gelap, semua anggota keluarga sudah sejak lama berpetualang di dunia mimpi masing-masing, tak terdengar suara apapun kecuali tetes air dari keran wastafel yang sedikit longgar.
Di waktu setenang dan sehening itulah otakku justru malah mengadakan acara podcast. Di situ, duduklah kedua bagian otakku, Otak Kanan dan Otak Kiri. Topik yang akhir-akhir ini selalu dibahas adalah mengenai masa depanku. Lebih spesifiknya masalah ujian dan kuliah.
Berbagai pertanyaan diajukan bertubi oleh Otak Kanan,
“Bagaimana jika kamu tidak bisa menjawab soal-soal di hadapanmu nanti?”
“Bagaimana jika nanti kamu ngeblank ketika mengerjakan soal, apalagi soal matematika yang bahkan selama ini kamu hanya melihat angka dan variabel X saja sudah asam lambung?”
“Bagaimana jika nanti ketika peserta lainnya sudah pada selesai, kamu belum selesai sendiri?”
“Apakah pantas orang seperti kamu, yang nggak pernah serius menyiapkan untuk ujian ini, duduk bersanding dengan para peserta lain yang pastinya jauh lebih gigih dan semangat darimu?”
“Apakah nanti pengawas ujiannya bakal galak-galak, suka melotot dan punya kemampuan mengendus orang yang hobi nyontek?”
“Apakah nanti bakal ada banyak CCTV yang mengawasi?”
“Apakah, aku, nanti bisa lulus?”
Otak Kiri hanya bisa terdiam, karena tak bisa menjawab apapun. Semua poin dari Otak Kanan solid dan konkrit.
Di bulan April ini, aku harus melewati dua ronde ujian. Pertama, aku harus melalui empat hari ujian paket C di PKBM, kemudian aku akan melewati utbk yang mungkin cuma sehari, namun paling menentukan. Untuk ujian paket C ini aku akan bolak-balik ke Bantul selama 4 hari. Alhamdulillah sudah berjalan satu hari dan aku sudah menangkap bahwa soal ujian di paket C ini nggak sesusah dan sepadat yang kubayangkan sebelumnya.
Awalnya aku mengira bahwa aku akan menghadapi ratusan soal di ujian paket C ini, ternyata setiap sesi hanya mengandung 25 soal dan semuanya terhitung sangat sangat sangat guampang buat aku yang sangat minim persiapan.
Ketika perjalanan pulang, di atas motor, aku menyimpulkan bahwa aku tidak akan terlalu menganggap serius ujian paket C ini (bukan berarti menganggap remeh ya). Karena aku dari kemarin mempertimbangkan mau kemana tenaga dan fokusku akan kumaksimalkan? Ujian paket atau utbk? Setelah sehari lewat ujian paket, aku simpulkan akan memfokuskan seluruh tenagaku untuk persiapan utbk.
Sekarang, kegalauanku berpusat di memikirkan utbk (dan apa yang akan terjadi setelah itu).
Okelah, kita lewatkan gambaran kecemasan ketika menghadapi momen UTBK, karena pada dasarnya ya cuma sehari dan termasuk singkat, dari jam 6:45 hingga jam 10:30. Pertanyaannya di sini adalah,
“Apa yang akan terjadi setelah itu?” Aku tidak akan pernah tahu jawabannya hingga benar-benar tiba momennya.
“Apa yang akan kamu lakukan jika kamu nggak lulus masuk ptn?”
Awalnya aku sempat bingung harus menyiapkan rencana apa jika ini terjadi, namun kemudian aku ingat bahwa aku masih punya kesempatan kuliah secara online di IOU (International Open University), yang mana aku masih bisa mendapatkan gelar sarjana secara resmi, dengan biaya murah, dengan jurusan bervariasi yang bisa kupilih. Kedua orangtuaku sendiri sedang mengambil studi di universitas ini, mengambil S2 bahasa Arab.
“Apakah kamu akan sedih, putus asa dan lompat dari jembatan jika kamu nggak lulus ptn?”
Pada dasarnya nggak. Karena aku sendiri sebenarnya sekarang tak lagi menjadikan kuliah di Indonesia sebagai ambisi terbesarku. Hanya saja, mungkin aku akan kecewa karena tak bisa memenuhi ekspektasi orangtuaku untuk lolos di kampus mereka berkuliah dulu.
Usahaku untuk masuk ptn ini sebenarnya hanyalah langkah awal sebelum nantinya akan kuliah di Madinah.
Kok bisa?
Dari cerita para alumni dan mahasiswa Madinah, rata-rata waktu menunggu pengumuman lolos di UIM bisa dari 1 sampai 4 tahun. Kita sendiri tahu, 4 tahun bukanlah waktu yang sebentar, itu adalah waktu normal untuk menyelesaikan sarjana. Makanya itu aku berusaha masuk UGM atau UNY ini untuk menunggu pengumuman dari Madinah. Agar waktunya tidak sia-sia.
Begitu, ges.
Bagian 2: Ternyata, Aku Sudah Dewasa.
Ada perasaan aneh ketika aku akhirnya kembali ke PKBM untuk menjalani ujian, setelah sekian lama tidak ke sana. Bangunan tua itu tak berubah sama sekali, begitu pula Bu Tuti, sang pemilik PKBM dan para gurunya. Persis saat pertama kali aku datang ke sana 6 tahun lalu.
Nostalgia itu terasa pekat sekali ketika aku sudah mulai memasuki daerah Bantul. Ketika udara segar dari pepohonan dan sawah masuk ke hidungku, dengan pemandangan hijau di setiap sudutnya, seluruh memori itu kembali merasuk ke benakku.
Enam tahun lalu, aku hanyalah anak sd yang melaksanakan UN. Saat itu, aku masih diantar-jemput oleh Bapak. Sekarang, aku mengendarai motor sendiri. Dan kali ini, kemungkinan besar akan menjadi momen terakhir kalinya aku pergi ke PKBM.
Rasanya, momen masa kecil itu terasa seperti baru kemarin terjadi. Ketika aku dibully di TK tempatku bersekolah, begitu pula di kampung, karena aku hanya satu-satunya anak yang homeschooling. Ketika aku masih menguras otakku menghafal quran di pondok di Godean selama 3 tahun masa SMP-ku. Dan berbagai momen lainnya.
Rasanya, waktu cepat sekali ya?
Bapakku beberapa kali ngomong gini, “Abi sekarang udah umur 45 tahun, rasanya baru kemaren Abi masih jualan es di SD Abi.” Awalnya ketika aku mendengar itu merasa aneh, tapi sekarang aku sudah mulai memahaminya.
Memang hidup di dunia ini singkat sekali, ya?
Bagian 3: Pakde Datang ke Rumah
Aku punya Pakde dari sebelah Ibu, namanya Pakde Lyno. Setelah sekian lama menetap di Belanda, beliau akhirnya mendapat kesempatan untuk kembali ke Indonesia untuk silaturrahmi. Kebetulan alasan beliau pulang adalah karena beliau baru saja berpisah dari istrinya, cerai.
Beliau datang ke Jogja bersama Nenek, membawa banyak sekali oleh-oleh . Selama hampir seminggu, beliau mampir ke rumah kami. Bercakap-cakap mengenai banyak hal.
Aku sempat diajak main ke Malioboro oleh Pakde. Kami berangkat setelah Ashar, aku yang menyetir motor, memboncengi Pakde.
Selama di sana, aku diberi kesempatan untuk memegang handphone keduanya, samsung S22. Tugasku selama jalan-jalan, aku merekam dan menangkap momen BTS Pakde ketika beliau sedang proses membuat konten (beliau suka bikin konten transisi gitu, tujuan kami ke Malioboro ini juga untuk keperluan ngonten Pakde). Aku juga diperbolehkan untuk memotret sesuka hatiku, tentu saja aku ambil dengan baik kesempatan tersebut.
Ada banyak pelajaran yang aku dapat dalam kunjungan singkat Pakde ke rumah. Tapi yang paling utama adalah tentang bagaimana jangan sampai salah dalam memilih pasangan.
Tentang bagaimana kita benar-benar harus awas ketika tertarik dengan perempuan. Karena, pada dasarnya dunia pernikahan bukan seindah bayangan kita para remaja tanggung. Pernikahan adalah tentang apakah kita sudah siap untuk saling menerima kekurangan masing-masing. Tentang apakah kita bisa menyingkirkan ego kita dalam berkomunikasi satu sama lain? Tentang bagaimana kita saling memaafkan, saling mengingatkan dan saling mendukung.
***
Jujur, aku nulis ini sambil ngeblank.