Bagian 1: Storyku mendadak ramai
Hari ini, di pertengahan bulan Ramadhan, views storygram ku mendadak melonjak. Ketika aku cek, ternyata kawan-kawanku dari pondok sudah pulang ke rumah masing-masing.
Mereka semua kompak membuat story, mengumumkan kepada seluruh alam semesta bahwa dirinya telah pulang setelah 6 bulan lebih terperangkap di satu ekosistem yang membosankan: Pondok Pesantren.
Ada yang rajin sekali membagikan selfie bersama kawannya, sedang bukber nih gais, tulisnya di caption. Ada yang merepost reel motivasi dan quotes, berderet storynya hanya berisi reel tersebut. Ada yang memposting foto-foto kerennya di pondok, umumnya foto seangkatan, lengkap dengan jas angkatan kesayangan dan pose paling badassnya.
Selebihnya, jalan-jalan, menikmati waktu bebas terbatasnya dengan keluyuran kesana-kemari, mencoba berbagai hal yang tak bisa mereka lakukan sewaktu terperangkap di balik dinding pondok.
Aku sudah pernah mondok, jadi jangan kira aku berkomentar tanpa dasar.
Fenomena ini sangat bisa dimaklumi. Enam bulan lebih mereka berada di pondok tanpa bisa melihat dunia luar, tanpa ada kesempatan memegang gawai (kecuali ketika jadwal telpon orangtua), tanpa kesempatan untuk keluar pondok. Satu-satunya akses mereka untuk melihat apa yang terjadi di dunia luar hanyalah lembaran koran yang dipasang di papan, yang di ganti tiap hari. Selebihnya? Hanya menjadi tanda tanya bagi mereka, menebak-nebak.
Ketika mereka pulang, cakrawala itu kembali terbuka, dunia menjadi terasa sangat luas dan berbagai informasi terbaru di internet membanjiri fyp akun sosmed mereka yang sudah lama berdebu.
Wajar saja fenomena FOMO (Fear of Missing Out) pada mereka lebih kuat efeknya daripada orang biasa. Apalagi rata-rata waktu libur anak pondok paling lama hanyalah 2 atau 3 minggu. Maka, dengan waktu terbatas tersebut dan menggunungnya berbagai hal yang ingin mereka coba, liburan jadi tak ada bedanya dengan marathon eksplorasi.
Trend baru, kabar baru, pengalaman baru, semuanya harus mereka lahap dalam waktu 14 hari saja.
Aku kasihan, sekaligus bersyukur.
Kasihan karena mereka harus terkena efek samping dari sistem pondok pesantren yang semakin tak masuk akal. Bersyukur karena aku sudah ditarik dari lingkungan tersebut sebelum semuanya terlambat.
Intinya, pada dasarnya, semua ini wajar.
Tapi ada satu hal dari fenomena liburan ini yang sangat aku kritisi dan harus menjadi catatan dan peringatan bagi mereka.
Bagian 2: Ceramah Taraweh
Beberapa waktu lalu, aku mengimami shalat Isya dan taraweh di masjid kampung. Budaya kami, sebelum berpindah dari shalat isya ke shalat taraweh, akan diselingi dengan ceramah singkat dari pemateri.
Setelah shalat ba’diah, aku duduk di tempat imam menghadap para jamaah, sedangkan Pemateri naik ke atas mimbar, mulai berceramah. Topiknya: Berbaktinya seorang anak dengan orangtua. Pilihan tema yang bagus sekali.
Beliau menjelaskan bahwa kita sebagai anak wajib berbakti kepada orangtua selagi mereka masih hidup, apapun bentuknya. Dan ketika kedua orangtuanya telah tiada, maka, selagi kita masih hidup, kita masih wajib berbakti kepada mereka dengan senantiasa mendoakannya hingga nanti kita akhirnya menyusul mereka.
Beliau memperingatkan para jamaah untuk manfaatkan waktunya bersama orangtua sebelum semuanya telat.
Di pertengahan ceramahnya, beliau mengatakan,
“Namun, kita lihat, betapa banyak orang yang menyia-nyiakan dan tak menghargai kesempatan berbakti dengan orangtua mereka. Salah satu contohnya adalah anak pondok. Ketika mereka pulang, yang mereka pikirkan hanyalah jalan-jalan dan main hape. Orangtua mereka? Ah, sekadar salim dan mengobrol di awal saja, selebihnya, ia kembali sibuk sendiri dengan dunianya.”
Deg! Perkataan beliau menggelitik telingaku, sebuah ide muncul. Aku segera mengeluarkan hape dan mencatat di google notes ide tulisan yang sekarang sedang kamu baca.
Di sini aku ingin kembali menegaskan kalimat beliau.
Manfaatkan waktumu dengan orangtuamu sebelum terlambat. Selagi mereka masih ada, maka nikmati semua momen bersamanya. Mereka tak hidup selamanya, begitupula kamu.
Ketika kamu akhirnya diberi kesempatan untuk pulang sejenak, bertemu dengan mereka, maka manfaatkan sebaik mungkin seluruh waktu yang ada. Ampiri, cium tangan mereka, teruslah bersamai mereka hingga kamu kembali pergi dan sibuk dengan perjuanganmu lagi.
Jangan lupa untuk meminta doa mereka. Karena siapa lagi orang yang mau mendoakan kita dengan sungguh-sungguh selain kedua orangtua kita?
Untuk kamu anak pondok, enyahkan hape sialanmu itu. Tren baru dan berbagai fyp itu sama sekali tak penting untukmu. Jangan pula habiskan seluruh waktumu hanya untuk jalan kesana-kemari bersama kawanmu yang sudah kamu temui tiap hari di pondok. Ajak orangtua dan keluargamu. Mereka JAUH lebih berharga daripada apapun yang kamu miliki sekarang.