Bagian 1: Bosen belajar agama
Sekarang aku sedang berada di fase banyak pikiran. Untuk info, di saat aku menulis ini, aku sedang berumur 17 tahun, di ujung tahun 2024, bulan Desember. Sebelum nanti menghadapi berbagai ujian di 2025.
Banyak sekali pikiran yang berkecamuk berantakan dalam benakku ini, sehingga aku memutuskan untuk menatanya dalam tulisan saja.
Ini masih tentang kuliah. Kemaren aku sempet bergebu-gebu semangat buat melanjutkan studiku ke UGM dan mengambil jurusan Psikologi. Wah, keren sekali ya.
Tapi sejujurnya, aku ingin kuliah ke UGM itu hanyalah cita-cita hampa yang mengisi benak dan imajinasiku. Jujur saja, aku saat itu hanya penasaran bagaimana sih rasanya kuliah di universitas di Indonesia? Bergaul dengan banyak orang baru dengan berbagai idealisme berbeda. Atau, bagaimana sih rasanya bergaul dengan orang non-agamis?
Non-agamis, maksudnya apa? Itu cuma bahasa lain dari bahasa orang awam. Tapi konteks awamnya di sini berkaitan dengan awam terhadap agama. Ya, semenjak kecil aku sudah dididik dengan parenting berbasis agama. Segala hal selalu berkaitan dengan agama. Setiap kesalahan dikaitkan dengan murka Allah. Segala kebaikan dikaitkan dengan cinta Allah.
Dengan parenting strict dari orangtuaku yang seperti itu, tentu saja akhirnya mindset beragama itu mendarah daging dalam diriku. Meskipun seringkali sekarang aku mangkel karena aku harus menerima ‘khutbah agama’ yang aku sudah sangat hafal tapi masih diulang-ulang oleh mereka.
Keinginan aku kuliah di kampus negeri ketika itu murni karena aku ingin bergaul dengan teman-teman awam itu. Kedengarannya lucu? Nggak, lebih ke konyol. Tapi kalau mungkin kalian ada di posisi aku yang selama ini selalu bergaul dengan orang di lingkungan agama yang kental dengan budaya pesantrennya, kalian bakal paham bahwa aku bosan berkawan dengan orang yang itu-itu aja.
Jadi sejatinya aku bukan pengen kuliah ke UGM untuk belajar dan menjadi psikolog di masa depan. Aku cuma pengen cari lingkungan baru dan berteman di lingkungan awam. Karena bosan dengan lingkungan agama.
Benar-benar bodoh dan tidak menggunakan akal sehat.
Monyet saja heran.
Bagian 2: Aku belok.
Akhir-akhir ini aku mulai kembali aktif di dunia fotografi. Ketika aku mendapat ide untuk meminjam kamera kantor bapak buat ku pake hunting foto. Hasilnya bisa kalian liat di instagramku: @sehansw.
Tapi kalian tahu, izin untuk menggunakan kamera kantor itu nggak mudah. Dan nggak akan pernah mudah. Karena pertama, itu kamera perusahaan. Kedua, aku bukan orang yang bekerja untuk perusahaan. Ketiga, aku bukan orang yang dipercaya oleh pengurus aset kantor (karena aku izinnya ke dia). Aku cuma kebetulan seekor anak dari pemilik perusahaan itu, titik.
Aku cuma berhasil meminjam kamera itu untuk hunting dua kali aja. Sabtu di minggu pertama dan Sabtu depannya. Habis itu nggak bisa lagi.
Akhirnya muncullah ide di benakku untuk membeli kamera pribadi. Lebih bebas dan enak, karena emang kamera itu aku yang beli, kan?
Tapi kalian semua tahu, kamera yang bagus nggak pernah murah. Paling murah ya 8 jutaan. Aku bukan anak orang China yang punya bapak super kaya. Mana bisa aku seenaknya langsung beli di saat aku pengen. Aku harus nabung dulu dong.
Dengan penghasilanku yang cuma 1,5 juta perbulan, apakah aku bisa membeli kamera? Bisa, tapi lama. Dan itu uang tabungan hasil kerjaku, semuanya dipegang ibuku dan uang itu diniatkan hanya untuk studi dan kebutuhan pritilanku. Jadi, kalo mau beli kamera atau mungkin benda mahal lain, ya gak bisa pake tabunganku itu. Anggep tabungan itu nggak ada.
Lama sekali aku galau dan mikir berbagai cara untuk dapet uang. Akhirnya aku kepikiran beberapa ide.
- Jadi content creator. Oh, kalau sudah sukses dan branding kita kuat, tentu duit dari berbagai endorse itu melimpah. Tapi pertanyaannya, apakah semudah itu? Oh tydack.
Karena content creator itu nggak ada bedanya dari kerja. Butuh dedikasi, ketulusan dan waktu yang lama. Untuk bergantung ke endorse dalam penghasilan, ini terlalu menyedihkan. Tapi ini bukan ide yang buruk dan ini tetap ada di list rencanaku.
- Kuliah di Madinah. Ini yang menarik. Ketika kita jadi salah satu mahasiswa di Universitas Madinah, kita mendapatkan uang saku senilai 850 riyal perbulan, atau 3,5 juta jika dirupiahkan. Bahkan jika kita menjadi mahasiswa berprestasi, kita bisa mendapatkan bonus dari pemerintah yang aku nggak tahu berapa nominalnya. Yang jelas, siapa sih yang nggak mau dikasih uang jajan sama pemerintah Saudi tiap bulan gratis?
Aku sudah bicara masalah ini ke orangtuaku dan ya jelas lah respon mereka gini. “Kamu kalo kuliah ke Madinah cuma ngincer duitnya, biar bisa beli kamera, ya berarti kamu gak ikhlas dan tulus dong kuliahnya. Nanti kamu gak niat kuliahnya dan motivasinya ya cuma dari hal-hal gak penting.”
Wajar, orangtuaku ngomong gitu karena mereka ngira aku cuma ngincer duit buat beli kamera, terus udah. Nanti ketika aku dah dapet kamera, aku gak ada tujuan dan motivasi lagi. Itu sangkaan mereka dan itu adalah salah. Karena niat dan tujuanku di samping studi jauh lebih banyak dan lebih luas lagi. Nggak mungkin aku sepolos itu. Goblok namanya
Ya poin pengen beli kamera lewat duit saku bulanan itu nggak salah. Cuma nggak cukup sampe situ aja. Nanti aku berencana untuk membangun brandingku dari situ, memulai akun Youtube di mana aku bisa memperkenalkan madinah dan budayanya dengan bungkus yang lebih menarik.
Karena selama ini, aku lihat belum ada youtuber Indonesia di Madinah yang bisa membuat video tentang Madinah yang kualitasnya mirip seperti vlognya Peter Mckinnon atau Casey Neistat (searching aja kalo nggak kenal mereka) yag tentu saja bagus banget konsep videonya. Dan misiku nanti insya Allah ketika aku berhasil kuliah di Madinah (amin), aku pengen membuat dokumentasi dari berbagai aspek yang ada di Madinah, nggak cuma UIM-nya. Mulai dari budaya, makanan, perkotaan dan pedesaannya. Mungkin juga nanti diselipkan video hunting foto di kota Madinah.
Ada juga kesempatan aku bisa menjadi muthawwif atau menjadi pengurus haji yang gajinya luar biasa dan nggak sedikit. Aku juga bisa menjalankan hobiku di kalistenik dan seterusnya dan seterusnya.
Wow, bayangkan ketika rencana itu semua nanti terwujud insya Allah.
Bagian 3: Realita rasa tai.
Tentu saja aku tak seenaknya menulis semua rencana di atas tadi. Aku sudah riset dan mencari informasi sebanyak mungkin untuk bisa menimbang antara rencana, mimpi, khayalan dengan realita yang ada.
Dan kalian tentu sangat tahu kalau realita selalu terasa seperti tai. Nggak pernah enak.
Salah satu realita yang harus aku tahu dan camkan dalam diriku adalah ‘Aku belum pasti langsung keterima kampus Madinah’. Dengan ini, aku harus siap menerima kenyataan ketika aku misalkan nanti ditolak (na’udzubillah).
Jika misalkan aku diterima? Alhamdulillah. Tapi yang aku dengar, menerima kabar penerimaan kita di univ Madinah itu seharga dengan menunggu 1 atau 2 tahun. Dan ya, ini pahit sekali tapi tak boleh dipungkiri.
Maka apa sih plan yang bisa aku lakukan selama masa kosong menunggu kepastian?
Ya balik lagi ke plan lama. Entah kuliah dulu di universitas di Jogja. Atau bisa juga sambil ngikut berbagai kursus kayak bahasa inggris, creating content dan lain-lain.
Semoga Allah mudahkan.